Koranriau.co.id-

AKTIVIS dan Advokat Hak Asasi Manusia (HAM) Asfinawati menilai pernyataan Menteri Hukum keliru dan cenderung memelintir substansi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait larangan anggota Polri menduduki jabatan sipil.
Asfi menegaskan putusan tersebut berlaku surut dan mencakup seluruh anggota kepolisian di seluruh jabatan sipil, bukan hanya jabatan yang dinilai tidak terkait dengan fungsi kepolisian sebagaimana dinarasikan pemerintah.
Menurutnya, Menteri Hukum gagal membedakan amar putusan dengan pendapat berbeda (dissenting opinion) maupun alasan berbeda (concurring opinion) dalam putusan tersebut.
“Dalam putusan MK itu ada dissenting opinion dari dua hakim, dan ada satu pendapat dengan alasan berbeda. Tapi itu bukan amar putusan,” kata Asfi dalam keterangannya pada Kamis (20/11).
Pengajar STH Indonesia Jentera itu menyebut, narasi pemerintah yang mengatakan bahwa larangan tersebut hanya berlaku untuk jabatan sipil yang tidak terkait dengan kepolisian merupakan tafsir yang tidak sejalan dengan substansi putusan.
“Pokok yang diputuskan itu adalah semuanya, penegasannya jelas. Alasan bahwa larangan hanya untuk jabatan yang tidak terkait itu muncul dari pendapat berbeda, bukan bagian dari amar putusan,” jelasnya.
Asfi menegaskan bahwa materi dissenting opinion dari dua hakim dan concurring opinion dari satu hakim tidak bisa dijadikan dasar alibi untuk mengabaikan putusan akhir MK yang telah menjadi amar putusan.
Ia menilai, seorang pejabat setingkat menteri seharusnya memahami struktur putusan hukum dan tidak mengambil kutipan dari pendapat minoritas seolah-olah itu keputusan resmi.
“Tidak mungkin sekelas beliau tidak paham. Artinya itu sengaja untuk membuat narasi bahwa untuk jabatan yang terkait masih bisa. Saya khawatir begitu, karena tidak mungkin beliau tidak mengerti atau tidak bisa membaca putusan MK,” pungkasnya.
Selain itu, Asfi menekankan bahwa putusan tersebut berlaku surut, serta merta dan harus segera dieksekusi untuk seluruh anggota kepolisian baik sebelum dan sesudah putusan itu dibacakan. Namun, ia memahami penerapan langsung tidak bisa dilakukan dalam hitungan hari karena adanya risiko kekosongan jabatan.
“Saya juga paham tidak mungkin hari kedua itu langsung ditarik, karena pasti akan ada jabatan yang kosong. Tapi yang paling penting adalah pertama, dia tidak boleh terlalu lama. Dalam jangka waktu setahun itu terlalu lama menurut saya,” tegasnya.
Ia menilai tenggat penyelesaian harus ditetapkan dalam hitungan bulan dan tetap memperhitungkan kesinambungan organisasi.
“Tenggang waktunya itu harus berapa bulan, cukup untuk mengisi jabatan yang ditinggalkan. Karena ini bukan hanya soal organisasi, tapi menyangkut kehidupan manusia juga,” jelasnya.
Lebih jauh, ia menyoroti esensi putusan MK yang menurutnya progresif dan bertujuan untuk menjaga netralitas Polri serta konsisten dengan amanat reformasi yang memisahkan TNI dan Polri.
“Semangatnya adalah tidak boleh ada orang Polri menduduki jabatan sipil karena ini untuk mencegah ketidaknetralan. Ini merujuk pada ketetapan MPR tentang pemisahan TNI dan Polri. Itu penting untuk dikaji kembali,” ucapnya. (Dev/P-3)
Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/832270/aktivis-ham-nilai-putusan-mk-soal-larangan-polisi-di-jabatan-sipil-disalahartikan




