Nasional

Pergeseran Otoritas Keagamaan Perempuan dalam Gerakan Tarbiyah

Koranriau.co.id-

Pergeseran Otoritas Keagamaan Perempuan  dalam Gerakan Tarbiyah
(MI/SENO)

DALAM dua dekade terakhir banyak pihak yang menyampaikan pentingnya mendengar suara, pandangan, dan pengalaman perempuan dalam menjelaskan isu-isu keagamaan. Sebagian lain menyuarakan tentang minimnya ulama perempuan dalam konteks beragama dan keagamaan di Indonesia. Saat ini, kita menyaksikan cukup banyak ulama perempuan hadir di ruang publik Indonesia dan aktif menyuarakan pandangan-pandangan keagamaannya, serta menjadi rujukan bagi masyarakat.

Otoritas keagamaan dalam konteks Islam biasanya dipahami sebagai ulama atau tokoh agama yang memiliki pemahaman yang mendalam dan keahlian dalam ilmu agama, terutama dalam bidang hukum Islam. Oleh karena itu, pengakuan tradisional atas otoritas mereka lebih banyak terletak pada pengetahuan mereka tentang hukum Islam. Mereka telah mengikuti training keagamaan mengenai bagaimana menafsirkan hukum Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis (Abou El-Fadl, 2001a; 2001b; Hallaq, 2001; Zaman, 2002).

Peter Mandaville (2007:307) mendefinisikan pemegang otoritas keagamaan sebagai a class of scholars with privileged access to texts, methods, and traditions of knowledge that create their capacity to speak authoritatively on religious issues (sekelompok cendekiawan dengan akses istimewa terhadap teks, metode, dan tradisi pengetahuan yang memungkinkan mereka untuk berbicara dengan otoritasnya tentang isu-isu keagamaan).

Mereka adalah cendekiawan yang terlatih (knowledgeable and well-trained) dalam sumber-sumber utama pengetahuan Islam seperti tafsir, hadis, fikih, bahasa Arab/linguistik, dan ilmu-ilmu Islam lainnya yang menjadi dasar wacana Islam. Menurut Sonn (2018), para ulama ini telah berperan sebagai custodians of religious discourses (penjaga wacana keagamaan), mengacu pada istilah yang digunakan oleh Muhammad Qasim Zaman (2002: 143) yang merujuk ulama sebagai custodians of change (penjaga perubahan).

Oleh karena itu, otoritas keagamaan yang dimiliki oleh ulama di Indonesia umumnya juga dibentuk oleh pengalaman panjang belajar ilmu-ilmu keislaman dari sumber klasik maupun kontemporer dari lembaga pendidikan Islam tradisional seperti pesantren dan dari pendidikan tinggi Islam negeri dan swasta lainnya, baik di dalam maupun luar negeri.

Pengalaman tersebut membentuk kemampuan yang mumpuni untuk membaca, memahami, dan menafsirkan pesan-pesan keagamaan dari sumber aslinya, yakni bahasa Arab. Selain itu, kemampuannya untuk menyebarluaskan pesan keagamaan tersebut ke berbagai lapisan masyarakat, sehingga ia diakui oleh publik sebagai orang yang otoritatif untuk berbicara tentang Islam.

Meski demikian, ada otoritas keagamaan yang lahir dan terbentuk bukan berbasiskan ilmu keislaman tradisional, tetapi berasal dari latar belakang keilmuan umum (non-keagamaan). Otoritas keagamaan tersebut muncul dan tumbuh dalam komunitas kecil di tingkat akar rumput dan hanya dalam lingkup terbatas, di mana hanya dalam komunitas tersebut ia dianggap memiliki otoritas keagamaan.

Pergeseran otoritas keagamaan di Indonesia

Di Indonesia kontemporer, pemahaman dan praktik otoritas keagamaan telah mengalami pergeseran. Pergeseran ini telah mengubah aspek-aspek lain dari wacana dan praktik keagamaan di Indonesia. Transformasi itu dapat dilihat dari jawaban atas pertanyaan kunci, yakni ‘siapa yang berhak berbicara secara otoritatif tentang Islam?’.

Umat Islam Indonesia zaman dulu mengandalkan ulama atau tokoh agama yang memiliki pengetahuan Islam yang komprehensif. Saat ini, otoritas keagamaan dapat diklaim oleh siapa saja, baik pakar maupun orang awam. Pergeseran itu memang telah mengubah nature otoritas keagamaan dan melemahkan bentuk-bentuk tradisionalnya.

Penelitian-penelitian lain sebelumnya telah menyoroti perubahan sifat, karakter, atau nature dari otoritas ini dan tantangan yang dihadapi oleh otoritas keagamaan yang lebih mapan seperti organisasi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (Azra, van Dijk, dan Kaptein (eds.), 2010; Abdullah, 2017; Arifianto, 2019; Akmaliyah, 2020; Wahid, 2012). Pergeseran otoritas keagamaan ini sering kali dikaitkan dengan munculnya gerakan Islam transnasional baru.

Gerakan Tarbiyah (Jama’ah Tarbiyah) didirikan pada 1983 oleh Hilmy Aminuddin, Salim Segaf al-Jufri, Abdullah Baharmus, dan Encep Abdusyukur (atau Acep Abdussyukur). Gerakan ini merupakan salah satu gerakan dakwah Islam transnasional karena secara ideologis dipengaruhi oleh gerakan dakwah Ikhwanul Muslimin (Muslim Brotherhood) dari Mesir.

Salah satu kegiatan pokok dari Gerakan Tarbiyah ialah liqoLiqo adalah fitur kunci dari dakwah Gerakan Tarbiyah untuk menanamkan ideologi anggotanya, serta menghubungkan dakwah Gerakan Tarbiyah dengan tujuan-tujuan politik gerakan ini, yaitu Partai Keadilan (PK) atau Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

PK atau PKS adalah partai islamis yang muncul dari proses demokratisasi Indonesia pada 1998, yang didirikan oleh para pendiri dan kader Gerakan Tarbiyah untuk memperluas audiens dakwah mereka serta mencapai tujuan dakwah mereka melalui politik. Salah satu pendiri dan ideolog gerakan ini, Hilmy Aminuddin, menjelaskan bahwa liqo adalah karakteristik utama dari tandzim nukhbawi (organisasi kader) [yaitu Gerakan Tarbiyah] (DPP PKS 2007a :7). Liqo merupakan pertemuan/pengajian/mentoring keagamaan bagi semua kader Gerakan Tarbiyah, baik laki-laki maupun perempuan, yang dilakukan setiap minggu.

Gerakan Tarbiyah merancang nilai-nilai, standar-standar, kriteria-kriteria dan manhaj Tarbiyah tentang bagaimana seseorang itu bisa menjadi mentor liqo laki-laki atau perempuan (murobbi/murobbiyah) yang dipercaya, dipatuhi, ditaati, bahkan dengan ketaatan penuh.

Manhaj Tarbiyah yang berhasil menumbuhkan kepercayaan dan rasa kekeluargaan yang kemudian bertahap membentuk militansi, soliditas, dan solidaritas yang kokoh, bukan hanya di dalam pertemuan mingguan liqo, tetapi juga di luar liqo.

Dengan manhaj Tarbiyah ini, seorang murobbi/murobbiyah bukan hanya menjadi mentor dalam memberikan materi (maadah) keagamaan, tetapi juga menjadi rujukan (maroji’) dalam hal politik dan persoalan hidup yang dihadapi sehari-hari.

Otoritas keagamaan perempuan dalam liqo

Kelompok liqo di dalam Gerakan Tarbiyah dipisahkan antara kelompok laki-laki dan kelompok perempuan. Satu kelompok liqo perempuan terdiri dari seorang mentor perempuan (murobbiyah) dan peserta didik perempuan (mutarobbiyah) berjumlah 6-10 orang. Dalam liqo, siapa pun dengan latar belakang pendidikan apa pun dapat menjadi mentor, juga dapat membangun dan membuktikan otoritas keagamaan mereka melalui peran sebagai mentor liqo di dalam kelompoknya.

Otoritas keagamaan terbentuk ketika seorang kader perempuan Gerakan Tarbiyah menjadi mentor (murobbiyah) dalam kelompok liqo-nya, dan bukan karena ia memiliki latar belakang pendidikan keislaman tradisional. Hal ini karena sebagian besar populasi liqo adalah kader dengan latar belakang pendidikan umum dan hanya sedikit dari para mentor yang memiliki latar belakang pendidikan keagamaan dan memiliki expertise dalam bidang keislaman.

Oleh karena itu, otoritas keagamaan di kalangan komunitas liqo perempuan ada pada tingkat lokal dan tingkat paling bawah, yaitu otoritas yang berada pada mentor di kelompoknya, bukan pada organisasinya itu sendiri.

Otoritas keagamaan mentor menguat karena misi dan orientasi dakwah mereka ialah wajib aktif terlibat dalam menanggapi isu-isu keagamaan publik, terutama kepada anggota liqo-nya, keluarga, teman, tetangga, dan kolega terdekat mereka. Selain itu, otoritas keagamaan mereka semakin menguat (reinforced) karena para mentor perempuan inilah yang menyampaikan keputusan Majelis Syura atau kebijakan organisasi kepada kelompok liqo-nya.

Para mentor juga selalu mendorong anggota kelompoknya (mutarobbiyah) untuk berbicara tentang pengetahuan Islam yang mereka dapatkan dari sesi mingguan liqo, dan untuk membagikannya kepada komunitas terdekat mereka serta memberikan fatwa atau pendapat mengenai hukum Islam atau panduan praktik keagamaan.

Fatwa dalam konteks anggota liqo perempuan terbatas pada memberikan nasihat keagamaan dan menjelaskan praktik-praktik keagamaan dengan memberikan contoh atau analogi dari sirah seperti kisah tentang Nabi Muhammad dan para sahabatnya, atau contoh sederhana dari yurisprudensi Islam yang berkaitan dengan kehidupan dan situasi keseharian mereka.

Otoritas dan legitimasi di tengah masyarakat

Otoritas adalah bentuk rasa percaya suatu komunitas terhadap tokoh tertentu di komunitasnya. Otoritas dibentuk atau terbentuk melalui interaksi rutin dan intens antara komunitas dan tokoh terdekat di sekitarnya. Dalam bahasa dan persepsi yang sederhana, otoritas terkait dengan rasa percaya/kepercayaan.

Jika boleh dianalogikan, ketika kita sakit dan datang ke dokter, lalu dokter periksa kondisi badan kita, kadang-kadang hanya selintas dan sekilas saja, dan dokter mengatakan beli obat ini dan obat itu. Kita tukar resep ke apotik dan minum obat-obat tersebut. Kita memberi kepercayaan penuh kepada dokter tersebut. Dengan demikian, sederhananya otoritas itu seperti alam bawah sadar yang membuat kita menaruh kepercayaan kepada orang tertentu.

Sebagian orang percaya kepada orang lain dan mengakuinya memiliki otoritas keagamaan karena beragam alasan dan pertimbangan yang tumbuh dalam sebuah komunitas. Ada yang karena ilmu keagamaannya yang sangat luas dan mendalam; sebagian lain karena karisma individu seorang tokoh agama; sebagian lagi masih ada yang percaya karena orang tersebut memiliki kemampuan mengobati dengan cara-cara tradisional; atau ada juga karena orang tersebut dianggap memiliki ‘kesaktian’ tertentu menurut nalar komunitas tersebut.

Max Weber dalam bukunya, Economy and Society (1968), menjelaskan tiga bentuk legitimasi, yaitu tradisi, karisma, dan norma-norma hukum-rasional dari otoritas. Pertama, otoritas tradisional didasarkan pada ide-ide, struktur, dan praktik adat. Kedua, otoritas karismatik bergantung pada magnetisme pribadi. Dan, yang terakhir, otoritas hukum-rasional bergantung pada aturan dan praktik yang terinstitusionalisasi.

Namun, konsep ini tidak secara tepat atau akurat menggambarkan bentuk-bentuk otoritas baru yang muncul dalam gerakan dakwah islamis. Komunitas liqo bukanlah komunitas tradisional dan tidak mengeklaim legitimasi tradisional. Komunitas ini juga bukan bagian dari otoritas karismatik, karena tidak dapat dilegitimasi oleh satu orang saja. Bentuk-bentuk otoritas dalam komunitas ini juga tidak sepenuhnya hukum-rasional.

Meskipun ajaran agama dalam liqo adalah produk dari organisasi hierarkis yang menyebar dan didistribusikan melalui rantai liqo yang linier, tetap saja tingkat tertinggi hingga terendah dalam hierarki mayoritas bukanlah para ahli dalam bidang hukum Islam dan pengetahuan agama, serta tidak memiliki pengalaman panjang belajar atau berlatih dalam institusi atau tradisi keislaman tradisional.

 

Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/opini/732506/pergeseran-otoritas-keagamaan-perempuan–dalam-gerakan-tarbiyah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *