Koranriau.co.id –
Presiden Prabowo Subianto ingin biaya haji terus diturunkan. Ia belum puas dengan penurunan biaya haji sekitar Rp4 juta di awal 2025 ini.
Ia mau biayanya ditekan lagi, bahkan lebih murah dari Malaysia. Mengingat, Indonesia menjadi negara penyumbang terbesar jemaah haji setiap tahunnya.
“Sekarang alhamdulillah kita bisa turunkan biaya haji Rp4 juta yang sudah dirasakan oleh jemaah tahun ini, 203 ribu, tapi saya minta dikurangi lagi. Saya belum puas, kita harus termurah yang bisa kita capai,” ucapnya ketika meresmikan Terminal Khusus Haji dan Umrah di Terminal 2F Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Minggu (4/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perintah itu ia tujukan kepada Menteri Agama Nasaruddin Umar dan Kepala BP Haji Muhammad Irfan Yusuf. Perintah dikeluarkan Prabowo sembari mengutip data jemaah haji dan umrah asal Indonesia yang mencapai hampir 2,2 juta orang per tahun.
Biaya haji memang baru resmi turun di awal 2025. Ini menyusul kesepakatan pemerintah dan DPR RI terkait biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) 1446 Hijriah atau 2025 Masehi rata-rata sebesar Rp89.410.258,79.
Sedangkan rerata BPIH pada tahun lalu tembus Rp93.410.286,00. Dengan kata lain, ada penurunan biaya haji tahun ini sekitar Rp4.000.027,21 jika dibandingkan 2024.
Di lain sisi, jumlah yang ditanggung langsung jemaah alias biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) adalah Rp55.431.750,78 atau setara 62 persen. Sisanya disubsidi melalui nilai manfaat yang bersumber dari dana hasil kelolaan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Nilai manfaat muncul berkat setoran awal jemaah haji yang akan berangkat ke Tanah Suci. BPKH kemudian bertugas mengelolanya, termasuk dengan melakukan investasi maupun penempatan pada instrumen keuangan syariah.
Ini juga yang pada akhirnya menimbulkan perbedaan biaya haji, seakan-akan di Malaysia lebih murah. Nominal yang harus dikeluarkan jemaah haji di Negeri Jiran sejatinya lebih mahal dibandingkan Indonesia.
Biaya haji Malaysia di 2025 adalah 33.300 ringgit atau setara Rp130,3 juta (asumsi kurs Rp3.913 per ringgit) per jemaah. Biayanya memang lebih besar dan tampak terlihat mahal saat dikonversi ke rupiah karena mata uang Garuda terus melemah atas ringgit.
Sedangkan subsidinya atau bantuan keuangan haji (Hafis) sebesar 18.300 ringgit alias Rp71,6 juta, yakni tembus 55 persen. Ini berlaku untuk kelompok penduduk dengan pendapatan 40 persen terbawah alias bottom 40 (B40), sehingga yang harus dibayar cukup Rp58,6 juta per jemaah.
Kelompok kelas ekonomi menengah alias middle 40 (M40) juga berhak atas subsidi sebesar 29 persen, yakni 9.800 ringgit atau Rp38,3 juta. Sedangkan golongan dengan penghasilan tinggi atau top 20 (T20) tetap membayar haji dengan biaya asli, tanpa potongan subsidi.
“Benar memang di Indonesia bayarannya lebih mahal buat jemaah. Penyebabnya, jemaah haji kita menginap di Arab Saudi lebih lama, sekitar 40 hari. Sementara (jemaah haji) Malaysia hanya (menginap di Saudi) 30 hari-35 hari,” kata Pengamat Haji dan Umrah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dadi Darmadi kepada CNNIndonesia.com, Senin (5/5).
“Jemaah kita juga lebih banyak (dibandingkan Malaysia). Makanya, urusan transportasi serta penginapan lebih ribet dan mahal,” sambungnya soal biaya haji Indonesia.
Dadi melihat sebenarnya masih masuk akal untuk menekan biaya haji dari Indonesia. Meski begitu, ia berpandangan upaya ini tidak mudah untuk dilakukan.
Salah satu cara yang patut dicoba adalah mengurangi waktu menginap jemaah haji di Saudi. Dadi menyarankan pemangkasan 3 hari hingga 5 hari yang berpotensi menghemat ratusan miliar rupiah.
Begitu pula biaya tiket pesawat yang dianggap masih bisa ditekan. Asalkan, Pemerintah Indonesia mampu melakukan negosiasi lanjutan dengan pihak maskapai.
“Hotel dan makanan juga bisa dicari yang lebih hemat, tapi ini agak riskan dan harus hati-hati. Jangan sampai kualitasnya jelek, apalagi buat jemaah berisiko tinggi dan jemaah lansia. Kalau kelewat pelit, nanti malah susah,” wanti-wanti Dadi.
Di lain sisi, ia mendukung BPKH untuk berinvestasi lebih cerdas lagi agar keuntungannya bisa bertambah banyak. Ini pada akhirnya bakal mengurangi beban jemaah alias Bipih yang dibayarkan.
Dadi juga setuju dengan ide Presiden Prabowo soal pembangunan ‘Kampung Indonesia’ di dekat Masjidil Haram. Ini berpotensi menekan biaya penginapan jemaah karena tidak perlu menyewa hotel mahal.
Namun, ia mengakui cara tersebut perlu investasi besar di awal. Pemerintah Indonesia juga mesti pandai melakukan lobi-lobi khusus untuk mengantongi izin di Tanah Suci.
Jangan kembali ke ‘skema Ponzi’
Dadi Darmadi berpesan jangan sampai negara kembali ke cara-cara lama, termasuk ‘skema Ponzi’ yang ramai dikritik sejumlah pihak. Kala itu, pembagian nilai manfaat dari BPKH lebih besar untuk mensubsidi jemaah haji tahun berjalan dibandingkan yang diterima jemaah tunggu.
Tambal sulam tersebut pada akhirnya berpotensi menggerus uang setoran jemaah yang dikelola BPKH. Bahkan, penggunaan yang tidak proporsional ia sebut akan membuat dana subsidi habis di 2027.
“Kalau kembali ke cara lama, di mana jemaah bayar sedikit, tapi dana haji di BPKH dipakai lebih banyak, itu bisa bahaya. Itu seperti nyicil utang. Nanti dana jemaah yang antre terpakai, malah bikin masalah atau malah bahaya, seperti skema Ponzi,” kata Dadi memperingatkan pemerintah.
“Lebih baik atur ulang biaya dengan transparan dan ajak orang-orang kaya bantu lewat program. Misalnya, wakaf haji, tapi ini tentu harus jelas pengelolaannya,” tutupnya.
Peneliti Next Policy Dwi Raihan juga sepakat untuk menghindari skema lama. Terlebih, ada potensi skema Ponzi dalam pengelolaan dana haji di Indonesia dengan cara-cara tersebut.
Ia mengakui skema lama tampak mudah untuk menyelesaikan masalah haji dalam jangka pendek. Namun, dampak buruknya adalah membebani fiskal karena akan terjadi defisit sampai membuat jemaah haji tunggu harus menanggung biaya lebih mahal.
Raihan kemudian menyinggung terbentuknya BP Haji di era Prabowo. Menurutnya, kehadiran badan tersebut tepat untuk menggantikan fungsi Kemenag dalam urusan penyelenggaraan haji di Indonesia.
“Di samping itu, perlu dilakukan audit inefisiensi. Khususnya terkait operasional dan kontraktual serta optimalisasi nilai manfaat dana haji melalui pemberian wewenang lebih kepada BPKH dalam melakukan investasi,” ucapnya.
“Pada dasarnya, ekonomi haji sangat besar. Namun, belum dikelola secara optimal sehingga tidak efisien yang pada akhirnya biaya haji masih tinggi,” imbuh Raihan.
Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20250506061524-92-1226102/bisakah-biaya-haji-terus-ditekan-seperti-mau-prabowo-bagaimana