Koranriau.co.id –
Jakarta, CNN Indonesia —
Peran Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tengah dipertanyakan di tengah konflik dan perang yang melanda perdagangan dunia saat ini.
Ketika dua raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat (AS) dan China, saling balas tarif dalam perang dagang yang berkepanjangan, WTO justru tampak seperti penonton pasif di pinggir arena.
Padahal, WTO adalah satu-satunya organisasi internasional global yang harusnya menengahi konflik itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
WTO sejatinya memiliki banyak peran, di antaranya; mengelola sistem aturan perdagangan global, sebagai forum untuk merundingkan perjanjian perdagangan, menyelesaikan sengketa dagang antar anggotanya, dan mendukung kebutuhan negara-negara berkembang.
Karena melempemnya peran WTO itu, kritik muncul.
Salah satunya dari Menteri Keuangan Sri Mulyani. Menurutnya, lembaga tersebut tidak berguna saat ini.
“Banyak negara yang masih berharap, harusnya kalau ada dispute, ‘We have to settle it di WTO’, tapi WTO sekarang tidak atau sangat kurang berfungsi,” katanya dalam CNBC Economic Update 2025 di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Rabu (18/6).
Wanita yang akrab disapa Ani itu menekankan saat ini eranya bergeser ke unilateral. Negara di dunia sekarang katanya lebih memilih mengamankan kepentingan masing-masing.
Ini yang akhirnya melanggengkan persaingan politik, ideologi, militer, keamanan, sampai ekonomi.
“Persaingan ini telah pada suatu titik yang dianggap bahwa kalau salah satu pihak menang, maka yang lain akan kalah. Situasi inilah yang mendasari yang kita sebut uncertainty,” tuturnya.
Lantas benarkah WTO melempem dan kehilangan taringnya, apa yang jadi penyebabnya?
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan WTO memang nyaris tak bertaring. Hal itu terjadi sejak era pertama Donald Trump sebagai presiden AS.
Saat itu AS mulai mengabaikan keberadaan WTO sebagai wadah pembentukan kebijakan perdagangan para anggotanya.
Tapi saat itu, Trump lebih memilih pendekatan bilateral ketimbang multilateral. Hal itu perlahan membuat WTO terabaikan.
“Karena peran AS yang cukup besar di dalam sistem perdagangan dunia, terutama dari sisi penguasaan sistem pembayaran internasional, maka saat AS memilih jalur bilateral, negara lain pada akhirnya mendekati AS dengan cara bilateral juga. Bahkan dengan China belakangan, pendekatan dan negosiasi bilateral lebih menonjol,” katanya kepada CNNIndonesia.com.
Padahal, sambungnya, di WTO pun ada mekanisme penyelesaian masalah, panel, serta sistem banding, layaknya penyelesaian “dispute” di PBB berdasarkan hukum bisnis internasional. Namun, lagi-lagi pengaruh geopolitik dan geoekonomi sangat besar di dalamnya.
Ketika negara besar mulai merasa kurang puas dengan mekanisme penyelesaian masalah yang ada, maka mereka mulai kembali pada pendekatan bilateral, bahkan mengambil kebijakan sepihak atas nama kepentingan nasional.
“Sehingga pada akhirnya, dengan tendensi proteksionisme yang makin menguat, di mana kebijakan negara-negara besar yang memilih untuk mengabaikan institusi multilateral, membuat WTO akhirnya terabaikan,” imbuhnya.
Ronny menilai sebenarnya WTO bisa kembali berfungsi sebagaimana mestinya jika AS dan China kembali ke institusi multilateral dalam urusan perdagangan dunia. Namun, ia menilai hal tersebut sulit tercapai di era Trump.
Bahkan setelah era Trump juga akan sama karena AS akan menuntut agar WTO lebih tegas ke hal-hal tertentu, seperti pencurian teknologi oleh perusahaan China, praktek subsidi ekspor China, dan praktek proteksi pasar domestik China.
“Dan China harus melunak, agar bersedia memenuhi itu melalui jalur multilateral. Sehingga Amerika kembali percaya kepada WTO. Kalau tidak, berkemungkinan besar WTO akan diabaikan,” katanya.
Sementara itu, Peneliti Next Policy Dwi Raihan mengatakan bahwa WTO memang kadang tidak efektif menyelesaikan masalah terutama kepada negara kuat. Hal itu terutama diperparah ketika AS memveto Appellate Body (Badan Banding) WTO.
Appellate Body bertugas menangani banding atas keputusan yang dikeluarkan oleh panel dalam sengketa antar negara anggota WTO. Mulai 2017, AS menghalangi penunjukan hakim baru Appellate Body dengan cara menolak berbagai proposal pengisian kekosongan keanggotaan.
Karena proses pengangkatan anggota Badan Banding dilakukan melalui konsensus, maka satu anggota WTO dapat memblokir pengangkatan dengan mengajukan keberatan resmi.
AS terus menolak hingga 2019 masa jabatan dua hakim Badan Banding berakhir, sehingga hanya tersisa satu anggota. Hal ini menyebabkan proses banding baru menjadi terhenti, karena suatu banding harus didengar oleh tiga hakim Badan Banding.
“Tidak bekerjanya Appellate Body sejak 2019 sehingga negara-negara tidak bisa mengajukan banding. Dampaknya beberapa perkara belum selesai. Ini mengindikasikan bahwa WTO tidak cukup kuat menyelesaikan perkara perdagangan,” katanya.
Dwi melihat masalah terletak pada komitmen dan posisi WTO sendiri. Pada dasarnya keputusan WTO berdasarkan konsensus. Artinya keputusan disetujui oleh semua anggota tanpa ada satu anggota pun yang keberatan.
“Maka dari itu komitmen masing-masing negara dalam mematuhi putusan sangat penting. Memang tidak ada hak veto dalam WTO namun beberapa negara terutama negara kuat seperti AS terbukti bisa menolak putusan WTO,” katanya.
(agt)
Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20250620061316-92-1241711/benarkah-wto-zaman-now-tak-berguna-lagi-apa-masalahnya