Membandingkan Beda Angka Kemiskinan Versi BPS dan Bank Dunia
Ekonomi

Membandingkan Beda Angka Kemiskinan Versi BPS dan Bank Dunia

Koranriau.co.id –


Jakarta, CNN Indonesia

Perbedaan angka kemiskinan yang dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia kembali menjadi sorotan publik.

Hal ini terutama setelah Bank Dunia memperkenalkan standar pengukuran kemiskinan yang baru, termasuk menaikkan garis kemiskinan ekstrem menjadi US$3 berdasarkan paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP).

“Bank Dunia memang memperkenalkan standar baru ya teman-teman semuanya. Kemiskinan ekstrem untuk negara-negara berpendapatan menengah ke bawah atau lower middle income countries, termasuk Indonesia. Yaitu di bulan Juni ini World Bank kan sudah merilis dengan standarnya itu US$3 PPP per hari,” kata Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono dalam konferensi pers, Jumat (25/7).


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan menggunakan standar tersebut, Bank Dunia memperkirakan 5,44 persen penduduk Indonesia pada 2023 hidup di bawah garis kemiskinan ekstrem versi baru. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan data resmi dari BPS.



Namun, Ateng menjelaskan Indonesia saat ini belum secara resmi mengadopsi batas US$3 PPP sebagai garis kemiskinan ekstrem nasional.

“Namun demikian, BPS akan terus mengikuti perkembangan metode global tentang pengukuran, terutama kemiskinan ekstrem tersebut,” lanjutnya.

BPS hingga kini masih menggunakan standar US$2,15 PPP untuk memastikan konsistensi perbandingan dengan data tahun-tahun sebelumnya. Angka kemiskinan ekstrem Indonesia pada Maret 2024 sebesar 0,83 persen, mengacu pada US$1,9 PPP (2011).

Sementara itu, rilis terbaru BPS untuk Maret 2025 menunjukkan kemiskinan ekstrem sebesar 0,85 persen, yang dihitung berdasarkan garis kemiskinan US$2,15 PPP (2017).

“Jadi World Bank mengadopsi metode baru untuk penghitungan PPP 2017 dan kami langsung mengkomunikasikan dan mengadopsinya. Pada Maret 2024, ketika dihitung dengan metode yang sama, hasilnya 1,26 persen sehingga kemiskinan ekstrem Maret 2025 turun dibandingkan dengan ekstrem Maret 2024,” ujar Ateng.

Ia juga menjelaskan adanya perbedaan metodologi dalam penghitungan.

“Intinya metode baru ini, kita yang lama masih menggunakan pertumbuhan CPI (Consumer Price Index), yang baru ini kita sudah mengadopsi salah satu di PBB, deflator ya, spasial deflator. Itu perbedaannya ya. Jadi yang lama hanya digerakkan CPI ya, sekarang sudah ada namanya spasial deflator,” jelasnya.

Sementara itu, dalam factsheet berjudul “The World Bank’s Updated Global Poverty Lines: Indonesia” yang dirilis pada 13 Juni 2025, Bank Dunia menjelaskan alasan digunakannya garis kemiskinan yang berbeda dengan BPS.

Garis kemiskinan nasional dan internasional sengaja dibuat berbeda karena memang digunakan untuk tujuan yang berbeda.

Bank Dunia menyatakan garis kemiskinan nasional Indonesia tetap relevan dan berfungsi sebagai dasar kebijakan sosial domestik, seperti penentuan sasaran penerima bantuan.

Namun, untuk membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara, Bank Dunia menggunakan pendekatan global dengan standar PPP.

Pembaruan garis kemiskinan internasional yang dilakukan Bank Dunia didasarkan pada perubahan paritas daya beli global dari PPP 2017 ke PPP 2021.

Ini mengakibatkan kenaikan batas-batas garis kemiskinan, antara lain kemiskinan ekstrem, yakni dari US$2,15 ke US$3 per kapita per hari, negara berpendapatan menengah bawah dari US$3,65 ke US$4,20, dan negara berpendapatan menengah atas dari US$6,85 ke US$8,30.

Berdasarkan standar US$6,85 PPP (UMIC), Bank Dunia memperkirakan pada 2024 sekitar 68,25 persen penduduk Indonesia atau sekitar 194,58 juta orang berada di bawah garis kemiskinan global.

Namun, Bank Dunia menegaskan tidak ada satu definisi tunggal mengenai kemiskinan.

“Garis kemiskinan nasional dan statistik yang diterbitkan BPS paling tepat. Garis kemiskinan internasional yang diterbitkan Bank Dunia (digunakan) untuk pemantauan kemiskinan global dan membandingkan Indonesia dengan negara lain,” tulis Bank Dunia.

BPS sendiri menggunakan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN) dalam menghitung garis kemiskinan. Pada September 2024, garis kemiskinan nasional ditetapkan sebesar Rp595.242 per kapita per bulan, atau sekitar Rp2.803.590 per rumah tangga berdasarkan rata-rata 4,71 anggota rumah tangga miskin.

Data BPS menunjukkan tingkat kemiskinan nasional pada September 2024 sebesar 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa.

Selain itu, BPS juga mengelompokkan masyarakat berdasarkan tingkat kesejahteraan, mulai dari kelompok miskin (8,57 persen), rentan miskin (24,42 persen), menuju kelas menengah (49,29 persen), kelas menengah (17,25 persen), dan kelas atas (0,46 persen).

Dengan pendekatan ini, garis kemiskinan BPS dinilai lebih mampu mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia, karena mempertimbangkan struktur konsumsi lokal, harga-harga spesifik per wilayah, serta kondisi ekonomi domestik yang khas.

[Gambas:Video CNN]

Di sisi lain, Bank Dunia menekankan peningkatan angka kemiskinan dalam laporan mereka tidak berarti Indonesia menjadi lebih miskin. Peningkatan angka semata-mata disebabkan oleh kenaikan standar global terhadap batas minimal kesejahteraan.

Mereka juga menekankan peningkatan garis kemiskinan nasional di berbagai negara menandakan semakin ambisiusnya negara-negara tersebut dalam menentukan standar hidup minimum.

(del/agt)


Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20250725182552-532-1255022/membandingkan-beda-angka-kemiskinan-versi-bps-dan-bank-dunia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *