Koranriau.co.id-

KOMISI Kepolisian Nasional (Kompolnas) membuka ruang partisipasi publik untuk mendorong percepatan reformasi Polri. Melalui Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Mendengarkan Publik untuk Reformasi Polri”, lembaga pengawas eksternal Polri itu menghadirkan berbagai elemen masyarakat sipil.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan lembaga bantuan hukum hadir di antaranya Kontras, YLBHI, Imparsial, Amnesty International Indonesia, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Wahid Foundation, Indonesian Police Watch (IPW), HRWG, ICJR, Elsam, LBH Pers, dan Lab 45.
Anggota Kompolnas sekaligus Ketua Tim Analisis Reformasi Polri, Supardi Hamid mengatakan kegiatan tersebut menjadi forum strategis bagi Kompolnas untuk menghimpun masukan langsung dari masyarakat mengenai arah pembaruan institusi kepolisian. “Langkah ini merupakan upaya Kompolnas memperluas ruang partisipasi publik dan menghimpun masukan strategis dari berbagai elemen masyarakat,” ujar Supardi dalam keterangannya pada Sabtu (4/10).
Supardi menekankan pentingnya forum diskusi tersebut sebagai wujud keterbukaan dan akuntabilitas lembaga dalam mendengarkan publik. “Kehadiran organisasi masyarakat sipil diharapkan memperkaya perspektif kami dalam merumuskan arah kebijakan reformasi Polri ke depan agar lebih responsif terhadap aspirasi masyarakat.”
Peserta disebutkan menyoroti sejumlah persoalan mendasar yang dianggap menghambat reformasi Polri. Salah satunya adalah desakan untuk menjauhkan Polri dari politisasi dan intervensi kepentingan kekuasaan.
Para aktivis menilai, netralitas dan profesionalitas Polri hanya bisa dijaga bila lembaga ini bebas dari tarik-menarik politik praktis. “Selama Polri masih menjadi alat kekuasaan, sulit bicara soal penegakan hukum yang independen,” tegas salah satu perwakilan lembaga HAM yang hadir.
Kultur Kekerasan
Selain isu politisasi, kultur kekerasan dalam tubuh Polri juga menjadi sorotan tajam. Para peserta menilai masih banyak praktik kekerasan dan penyiksaan yang mencoreng wajah penegakan hukum di Indonesia. Atas dasar itu, koalisi sipil mendesak perubahan paradigma aparat agar lebih humanis dan berorientasi pada penghormatan hak asasi manusia.
Isu lain yang mengemuka adalah penguatan mekanisme pengawasan internal dan eksternal. Peran Kompolnas, menurut para aktivis, perlu diperkuat agar tidak sekadar menjadi pemberi rekomendasi, melainkan memiliki daya tekan terhadap kebijakan internal Polri. “Tanpa pengawasan yang kuat, reformasi hanya akan berhenti di wacana. Kompolnas perlu punya taji,” ujar perwakilan LBH Pers dalam forum tersebut.
Tuntutan Pembebasan Aktivis
Selain itu, sejumlah organisasi juga secara khusus menyuarakan tuntutan pembebasan aktivis yang masih ditahan dalam kasus yang dianggap bermotif politik. Mereka menilai kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah hak konstitusional yang wajib dilindungi oleh negara, termasuk oleh institusi kepolisian.
Pada kesempatan yang sama, anggota Kompolnas Gufron menanggapi berbagai kritik dan masukan tajam tersebut. Ia menegaskan bahwa forum seperti ini merupakan bagian dari komitmen lembaganya untuk “mendengar secara aktif”.
“Kami di Kompolnas tidak bisa bekerja dalam ruang hampa. Kritik dari teman-teman NGO ini adalah cermin untuk melihat kekurangan yang mungkin tidak terlihat dari dalam,” ujar Gufron.
Gufron menekankan hasil FGD ini tidak akan berhenti sebagai seremonial, melainkan menjadi pijakan nyata dalam perumusan rekomendasi kebijakan reformasi Polri yang lebih akuntabel, profesional, dan berorientasi pada perlindungan hak-hak masyarakat.
“Semua catatan dan tuntutan akan kami pelajari dan menjadi bahan pertimbangan dalam setiap rekomendasi kebijakan yang kami susun. Kami ingin reformasi Polri menjadi agenda bersama, bukan hanya tanggung jawab internal kepolisian,” tandasnya. (M-1)
Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/817532/koalisi-sipil-minta-polri-dijauhkan-dari-kepentingan-kekuasaan