Nasional

Melindungi Anak-Anak Korban Bencana

Koranriau.co.id-

Melindungi Anak-Anak Korban Bencana
(MI/Seno)

BENCANA tak pernah pandang bulu. Akan tetapi, di antara berbagai kelompok korban bencana, anak sesungguhnya merupakan kelompok yang paling rentan dan rawan menanggung penderitaan akibat bencana. Berbeda dengan orang dewasa yang mampu mengurus dirinya dan mencari pertolongan pascabencana, anak-anak sering kali pasrah, bingung, dan tidak tahu harus berbuat apa ketika menjadi korban bencana. Anak-anak yang keluarganya tiba-tiba hilang, tercerai-berai, dan bahkan ada anak yang menjadi yatim atau yatim piatu akibat bencana, tentu mereka membutuhkan perlindungan dan penanganan khusus.

Dalam kasus bencana di Sumatra, ratusan dan bahkan ribuan anak dilaporkan harus mengungsi karena tempat tinggal mereka hanyut terseret banjir bandang dan tanah longsor. Sebagian anak bahkan dilaporkan meninggal karena tenggelam atau tertutup tanah. Anak-anak yang dapat diselamatkan, mereka kini tinggal di tempat-tempat penampungan yang kondisinya terkadang tidak atau kurang layak.

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencatat, di berbagai lokasi penampungan sudah ada beberapa penyakit yang menyerang anak-anak. Di Sumatra Utara, misalnya, ratusan anak mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), ada yang terkena diare, infeksi jamur, infeksi kulit, dan pneumonia. Di Sumatra Barat, kondisinya hampir sama. Dilaporkan, sejumlah anak meninggal dunia akibat banjir bandang tersebut, puluhan anak terkena ISPA, diare, juga penyakit kulit dan campak. Adapun di Aceh, kondisi anak-anak di pengungsian kurang lebih sama.

Tanpa ada penanganan yang tepat, anak-anak bukan tidak mungkin akan menderita penyakit yang lebih parah, dan bahkan persoalan lain nonmedis yang tak kalah berbahaya. Di lokasi penampungan yang kondisinya serba-terbatas, anak-anak menjadi kelompok pengungsi yang paling rentan dan rawan terkena serangan penyakit akibat kekurangan air bersih dan kondisi sanitasi yang buruk.

 

RAWAN

Anak-anak korban bencana berusia di bawah 18 tahun memerlukan perlindungan, perawatan, dan dukungan khusus untuk memulihkan diri dari pengalaman traumatris. Mereka biasanya mengalami penderitaan fisik, emosional, dan psikologis yang signifikan. Menyaksikan air banjir bandang yang datang meluluhlantakkan rumah, juga menyeret keluarga dan tetangga, sering kali menyebabkan anak mengalami trauma karena pengalaman dahsyat yang mereka alami. Sebagian anak yang terpaksa kehilangan orangtuanya ketika terjadi bencana, tentu mereka akan mengalami tekanan psikologis yang menjejas. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan anak-anak yang tiba-tiba harus kehilangan orangtuanya, menjadi yatim piatu karena bencana yang datangnya tiba-tiba.

Di pengungsian, yang notabene adalah tempat tinggal baru anak-anak, sering kali menjadi lingkungan yang asing. Anak-anak korban bencana umumnya rawan mengalami gangguan psikologis, seperti depresi dan kecemasan. Tinggal di tempat baru, seperti penampungan, bukan tidak mungkin menyebabkan anak mengalami alienasi. Kehilangan tempat tinggal yang familier, tentu menimbulkan guncangan tersendiri bagi anak-anak.

Selama di penampungan, bila tidak segera diprioritaskan untuk memperoleh penanganan, mereka umumnya akan riskan menjadi korban. Entah itu serangan penyakit, kekurangan gizi, kekurangan air bersih, dan bahkan bukan tidak mungkin jika anak-anak juga rawan diperlakukan salah. Pengalaman selama ini telah banyak mengajarkan bahwa anak-anak yang tinggal di penampungan umumnya mengalami kekurangan air bersih yang dapat menyebabkan penyakit dan infeksi. Anak-anak rawan mengalami kekurangan gizi karena kurangnya akses ke makanan yang seimbang dan bergizi.

Di daerah bencana, anak-anak sangat rentan terhadap masalah kesehatan, gangguan psikososial, dan bahkan yang mengkhawatirkan mereka juga berpotensi menjadi korban kekerasan dan eksploitasi, bahkan sampai pada potensi menjadi korban TPPO (tindak pidana perdagangan orang). Bagi anak-anak yang kehilangan orangtua, mereka sangat rentan dimanfaatkan kelompok orang-orang tertentu yang mencari kesempatan dan motif ekonomi mencari anak-anak untuk diperdagangkan.

Tanpa dukungan masyarakat yang ikut berperan aktif memperhatikan anak-anak sekitar mereka yang menjadi korban bencana, bukan tidak mungkin anak-anak akan rentan menjadi korban. Anak yang kehilangan orangtuanya harus segera melapor kepada BPBD, pemda, atau stakeholder yang menangani bencana di daerah bersangkutan agar dapat dikembangkan mekanisme perlindungan yang ketat.

Studi yang dilakukan Irwanto (2001) menemukan anak korban bencana umumnya rawan menjadi korban eksploitasi, termasuk menjadi objek perdagangan anak yang melibatkan sindikat nasional maupun internasional. Bencana alam menyebabkan sebagian anak kehilangan orangtua dan keluarganya sehingga mereka lebih mudah menjadi korban TPPO. Anak-anak korban bencana yang kekurangan ekonomi dan kurang pengawasan sering kali menjadi target perdagangan anak.

 

LANGKAH PENANGANAN

Untuk mencegah agar anak-anak yang menjadi korban bencana tidak diperlakukan salah, langkah pertama yang perlu segera dilakukan ialah melakukan pendataan untuk memastikan siapa saja anak yang perlu mendapatkan pengawasan dan perlindungan khusus.

Seperti dilaporkan di media massa bahwa Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) bersama dengan kementerian/lembaga dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) akan mendata anak-anak yang menjadi korban bencana di Provinsi Aceh, Sumatra Barat, dan Sumatra utara.

Deputi Bidang Kordinasi Peningkatan Kualitas Keluarga dan Kependudukan Kemenko PMK, Woro Srihastuti Sulistyaningrum, mengatakan pendataan tersebut penting dilakukan karena anak-anak menjadi kelompok paling rentan ketika bencana terjadi. Pendataan akan menentukan sejauh mana langkah-langkah yang akan diambil pemerintah pusat dan daerah untuk menangani berbagai masalah kerentanan anak-anak tersebut.

Langkah kedua, setelah dilakukan pendataan ialah bagaimana memastikan agar pemberian bantuan non-kesehatan dan dukungan psikososial, seperti pemenuhan kebutuhan dasar, dukungan nutrisi balita, trauma healing, dan pemulihan pendidikan, dapat segera dilakukan.

Lebih dari sekadar memenuhi kebutuhan dasar anak selama di penampungan dan memulihkan kembali fasilitas pendidikan agar anak korban bencana dapat kembali sekolah, yang tak kalah penting ialah bagaimana melakukan rehabilitasi psikologis dan program perlindungan yang benar-benar aman bagi masa depan anak.

Anak korban bencana adalah sosok yang paling menderita dan merupakan korban pertama yang perlu pendampingan dan perlindungan. Di tengah ancaman bencana yang masih menghantui, ada baiknya jika pemerintah, lembaga non-pemerintah, dan masyarakat menaruh perhatian khusus kepada anak-anak. Dengan menetapkan bencana di Sumatra sebagai bencana nasional sesungguhnya dampaknya akan menyebabkan perhatian dan komitmen negara menjadi lebih mantap. Semoga.

Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/opini/840576/melindungi-anak-anak-korban-bencana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *