Nasional

Akademisi SE Menteri Tenaga Kerja Perlu Dukungan Sistemik agar Tidak Jadi Ilusi Inklusi

Koranriau.co.id-

Akademisi: SE Menteri Tenaga Kerja Perlu Dukungan Sistemik agar Tidak Jadi Ilusi Inklusi
Ilustrasi(MI/DEDE SUSIANTI)

SURAT Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/6/HK.04/V/2025 tentang “Larangan Diskriminasi dalam Proses Rekrutmen Tenaga Kerja”, mendapat sorotan daei berbagai pihak. Tak terkecuali akademisi

Pakar Ekonomi Ketenagakerjaan IPB University, Dr Tanti Novianti, turut menyoroti keluarnya  surat edaran tersebut. 

Ia menilai, surat edaran tersebut sebagai langkah penting dalam mendorong dunia kerja yang lebih inklusif dan adil.

Menurutnya, kebijakan ini bukan sekadar aturan tambahan yang membebani pelaku usaha. Hal ini dapat menjadi momentum penting bagi dunia usaha untuk berbenah dan menciptakan sistem perekrutan yang lebih adil, terbuka dan berbasis kompetensi.

“Di tengah persaingan pasar yang semakin dinamis, perusahaan yang mampu membuka akses kerja bagi semua kalangan, tanpa memandang usia, gender, disabilitas, tentunya akan mendapatkan keuntungan strategis. Reputasi yang lebih baik, kualitas sumber daya manusia (SDM) yang beragam hingga loyalitas tenaga kerja yang tinggi,”ungkapnya melalui siaran persnya. 

Tantangan budaya organisasi dan investasi pelatihan akan selalu ada. Namun, lanjutnya, jika dilihat dari jangka panjang, implementasi rekrutmen nondiskriminatif adalah investasi menuju lingkungan kerja yang produktif, inovatif, dan manusiawi. Namun demikian, efektivitas kebijakan ini masih perlu diuji lebih lanjut. 

Menurut dia, implementasi kebijakan ini berpotensi menghadapi berbagai tantangan, terutama karena perbedaan karakteristik industri.

“Komitmen dan konsistensi perusahaan menjadi sangat krusial. Jika SE ini hanya bersifat imbauan, belum tentu akan ditaati seluruh pihak,” jelas sosok yang kini sebagai Wakil Dekan Sekolah Bisnis bidang Sumberdaya, Kerjasama, dan Pengembangan.

Selain itu, ia mengatakan bahwa ada sektor-sektor industri yang secara khusus masih membutuhkan kriteria usia, kondisi fisik, dan keahlian tertentu. 

Oleh karena itu, perusahaan tetap harus mempertimbangkan produktivitas dan keselamatan kerja dalam penerapan kebijakan ini.

Di sisi lain, Tanti menilai kebijakan ini membuka peluang lebih luas bagi pekerja individu berusia di atas 30 tahun yang selama ini kesulitan memasuki dunia kerja. 

Namun, ia juga memperingatkan bahwa tanpa sistem rekrutmen yang objektif dan transparan, bisa saja terjadi ketimpangan baru di mana pelamar muda yang berpengalaman tetap menjadi pilihan utama.

Dalam pandangannya, ada tiga catatan yang perlu diperhatikan terkait implementasi kebijakan ini. Pertama, perlu sosialisasi yang masif dan pengawasan yang ketat agar kebijakan benar-benar dijalankan di lapangan.

Kedua, adakan dialog berkelanjutan dengan pengusaha dan serikat pekerja, guna menyelaraskan kebijakan dengan karakteristik sektor industri. 

Terakhir, harus ada peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) lintas usia melalui pelatihan dan pengembangan keterampilan. Perubahan yang cepat akibat digitalisasi dan transformasi industri juga menjadi perhatian utama. 

Masih menurutnya, sektor-sektor seperti teknologi informasi, layanan keuangan digital, logistik berbasis aplikasi, dan industri kreatif menuntut adaptabilitas, dan literasi digital tinggi.

“Generasi muda lebih agile karena terbiasa dengan teknologi. Sebaliknya, pekerja usia lanjut yang tidak mendapat reskilling atau upskilling akan tertinggal,” ujarnya.

Tanpa penataan sistem pelatihan kerja yang inklusif lintas usia, ketimpangan kompetensi dapat menimbulkan ketegangan antargenerasi di tempat kerja. 

Untuk itu, Tanti menyarankan strategi manajemen umur yang mendukung kolaborasi lintas generasi, termasuk penerapan skema reverse mentoring dan knowledge transfer.

Ia juga  menyebutkan perlunya mendorong revitalisasi Balai Latihan Kerja (BLK) agar dapat melayani semua usia, pemberian insentif bagi perusahaan yang memberdayakan pekerja senior, serta penyusunan modul pelatihan digital yang ramah bagi peserta usia lanjut.

Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/ekonomi/786739/akademisi-se-menteri-tenaga-kerja-perlu-dukungan-sistemik-agar-tidak-jadi-ilusi-inklusi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *