Koranriau.co.id –
Jakarta, CNN Indonesia —
Indonesia dipastikan ikut terdampak jika Selat Hormuz benar-benar ditutup Iran dalam peperangan melawan Israel.
Pasalnya, jalur laut sempit antara Iran dan Oman itu menjadi akses perdagangan 20 juta barel minyak per hari (BOPD) alias 20 persen dari total konsumsi global. Hormuz juga merupakan jalur mondar-mandir kapal pengangkut gas alam cair (LNG).
Impor minyak mentah Indonesia yang melewati Selat Hormuz bahkan mencapai 22,8 juta barel. Proyeksi ini terungkap berdasarkan data yang dibeberkan PT Pertamina (Persero).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso menyebut pembelian crude dari Arab Saudi mencapai 19 persen dari total impor. Sedangkan total impor minyak mentah sepanjang 2024, menurut data Pertamina, ada di kisaran 120 juta barel.
“Bisa jadi (Indonesia mengimpor 22,8 juta barel crude melalui Selat Hormuz),” jawab Fadjar saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com, Selasa (24/6).
“Tapi tidak semua terminal crude Arab Saudi ada di jalur Selat Hormuz, sebagian besar iya,” sambungnya.
Peneliti Next Policy Shofie Azzahrah menegaskan dampak buruk yang paling nyata dari ancaman blokade itu adalah ketidakpastian pasokan minyak. Ini akhirnya bermuara pada kenaikan harga crude.
Saat harga minyak internasional naik, biaya produksi dan impor BBM juga bakal bengkak. Di lain sisi, pemerintah dituntut untuk tetap menjaga harga jual pertalite serta solar demi stabilitas sosial dan politik di tanah air.
“Selisih antara harga pokok yang naik dan harga jual (BBM) tetap itulah yang ditanggung sebagai subsidi melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kenaikan harga minyak dunia otomatis memperbesar selisih tersebut, sehingga membengkakkan anggaran subsidi,” tutur Shofie.
“Situasi ini akan memburuk jika nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah karena transaksi minyak dilakukan dalam dolar. Sehingga jumlah rupiah yang dibutuhkan untuk membayar impor BBM menjadi lebih besar,” imbuhnya.
Pengamat Energi Universitas Padjadjaran (Unpad) Yayan Satyakti bahkan memprediksi harga minyak dunia bisa terbang sampai US$145 per barel. Ini bisa terjadi andai blokade berlangsung cukup lama, setidaknya dalam jangka waktu bulanan.
Sementara itu, Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mewanti-wanti menipisnya kas negara. APBN diyakini bakal terkuras ketika harus menanggung beban subsidi di tengah gejolak rantai pasok minyak dunia.
“Ketika harga minyak global meningkat, inflasi global biasanya juga akan mengiringi. Inflasi yang tinggi ini bisa memicu resesi ekonomi global. Dampaknya adalah perdagangan global akan semakin terbatas, permintaan produk dari negara satu ke negara lainnya juga akan berkurang, termasuk Indonesia,” jelasnya.
“Ketika inflasi tinggi, bank sentral akan mengerek suku bunga agar dapat mengendalikan inflasi. Akibatnya, cost of investment akan semakin mahal. Perputaran ekonomi global akan terasa melambat,” tambah Huda.
Iran memang tampak serius ingin memblokir Selat Hormuz. Media Pemerintah Iran melaporkan parlemen mendukung rencana penutupan selat tersebut. Kendati demikian, keputusan akhir berada di tangan Dewan Keamanan Nasional Iran.
Eskalasi di Timur Tengah itu meningkat usai Amerika Serikat (AS) ikut campur dengan menyerang 3 situs nuklir Iran pada Sabtu (21/6), yakni fasilitas pengayaan uranium Natanz, Fordo, dan Isfahan. Operasi yang dinamakan ‘Midnight Hammer’ itu dilakukan Presiden Donald Trump untuk memaksa Ayatollah Ali Khamenei dan pasukannya kembali ke meja perundingan.
Ketidakpastian ini bahkan masih dibayangi masalah perang tarif dagang yang dikobarkan AS. Indonesia menjadi salah satu negara yang dijerat tarif resiprokal Amerika dengan besaran 32 persen. Nasib Indonesia juga belum jelas menjelang batas akhir penundaan implementasi tarif pada 8 Juli 2025.
(skt/pta)
Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20250624203247-92-1243455/apa-yang-terjadi-pada-indonesia-jika-selat-hormuz-ditutup-iran