Koranriau.co.id –
Kondisi ekonomi RI tengah disebut dalam kondisi darurat meski tumbuh 5,12 persen pada kuartal II 2025 kemarin.
Salah satu pihak yang menyampaikannya adalah Aliansi Ekonom Indonesia.
Aliansi yang menaungi 383 ekonom dan akademisi di bidang ekonomi itu melihat adanya penurunan kualitas hidup terjadi di berbagai lapisan masyarakat secara masif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka juga mengungkap sejumlah indikasi ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
1. Upah riil
Pada 2022-2024, ekonomi Indonesia tumbuh 5 persen. Tetapi upah riil stagnan dan hanya tumbuh 1,2 persen.
Pada 2010-2020, upah riil tumbuh 5,1 persen saat ekonomi RI tumbuh 5,4 persen.
2. Pengeluaran per kapita
Pertumbuhan rata-rata pengeluaran per kapita di periode 2018-2024 melambat dibandingkan 2012-2018. Koreksi pertumbuhan rata-rata 2 poin persentase.
3. Lapangan kerja
Mereka menyebut 80 persen lapangan kerja baru pada 2018-2024 tercipta di sektor berbasis rumah tangga dengan upah di bawah rata-rata nasional.
Tingkat pengangguran usia 15-24 tahun tiga kali lipat dibanding usia 25-34 tahun pada 2016-2024.
4. Kebijakan tidak menjawab kebutuhan masyarakat
Anggaran TNI dan Polri naik 6 kali lipat dari 2009 ke 2026. Di sisi lain, anggaran perlindungan sosial hanya tumbuh 2 kali lipat.
Alokasi anggaran Makan Bergizi Gratis (MBG) Rp335 triliun, mengambil porsi 44 persen dari anggaran pendidikan.
5.Pungli
Mereka menyebut 15 persen usaha kecil, 24 persen usaha menengah, dan 35 persen usaha besar harus membayar pungutan liar (pungli), lebih besar dibandingkan negara Asia Pasifik lainnya.
6. Hubungan negara dengan warga yang kurang harmonis
Aliansi menyebut kanal penyampaian aspirasi masyarakat tertutup. Ini memicu persekusi yang didorong konfllik kepentingan, gugurnya warga negara dalam upaya menuntut hak. Selain itu, keamanan sipil diabaikan.
Aliansi yang dalam petisinya terdapat nama Yose Rizal Damuri, Wijiyanto Samirin, Vivi Alatas, Teuku Riefky itu menyebut masalah yang menimpa ekonomi Indonesia itu tidak terjadi secara mendadak tapi sudah terakumulasi melalui proses panjang imbas ketidakadilan sosial yang terjadi di Indonesia.
“Walau ada tekanan dari guncangan global, kondisi di Indonesia ini tidak terjadi tiba-tiba, melainkan akumulasi berbagai proses bernegara yang kurang amanah sehingga menyebabkan berbagai ketidakadilan sosial,” kata Aliansi Ekonom Indonesia dalam keterangan tertulis, Selasa (9/9).
Kondisi darurat ekonomi ini bertolak belakang dengan yang selama ini disampaikan pemerintah. Pemerintah sering membanggakan ekonomi RI yang tumbuh di kisaran 5 persen lebih baik dibandingkan negara lain.
Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Tahunan MPR RI pada 15 Agustus lalu membanggakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada pidato kenegaraan di Sidang Tahunan MPR RI.
Prabowo mengatakan ekonomi RI tetap tumbuh meskipun perekonomian global terguncang karena perang tarif. Perang itu dipicu kebijakan tarif impor oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
“Di tengah perang dagang, perang tarif, ekonomi Indonesia masih tumbuh 5,12 persen dan pakar yakin ini akan meningkat di saat yang akan datang,” kata Prabowo pada Sidang Tahunan MPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (15/8).
Lantas benarkah ekonomi RI sedang darurat?
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P. Sasmita mengatakan ekonomi Indonesia bisa dilihat dari beberapa aspek. Pertama, secara komparatif.
Kalau kacamata ini yang dipakai, angka pertumbuhan 5 persen sejatinya memang terbilang tinggi. Kedua, secara kontekstual.
Angka pertumbuhan 5 persen katanya boleh dikatakan terbilang rendah.
“Secara kontekstual, Indonesia sedang dalam fase demographic dividen, perlu lapangan kerja yang sangat banyak yang harus ditopang oleh investasi swasta besar-besaran. Jadi idealnya pertumbuhan berada di level 7-10 persen,” katanya.
Ketiga, secara kualitatif. Menurutnya, secara kualitas pertumbuhan ekonomi RI tersebut juga kurang. Pasalnya sistem ekonomi RI hanya ditopang dan dinikmati oleh jejaring oligarkis. Alhasil, pertumbuhan lebih menguntungkan kelas atas dan para oligar.
Hal ini terjadi karena investasi yang tumbuh lebih banyak ditopang oleh sektor padat modal dan sektor finansial sehingga pembukaan lapangan kerja kurang maksimal dan sektor informal semakin membesar dari hari ke hari.
“Sehingga pendeknya, pertumbuhan 5,12 masih jauh dari kebutuhan di satu sisi dan kurang mendukung distribusi kekayaan negara secara adil di sisi lain. Sehingga wajar banyak ‘grievances‘ yang muncul dan sangat mudah tersulut aksi-aksi perlawanan terhadap negara dan pemerintah,” katanya.
Ronny yakin pemerintah menyadari masalah ekonomi yang terjadi sejak lama.
Namun, tampaknya pemerintah sulit mencari jalan keluar dari sisi fiskal yang sudah terlanjur terkavling-kavling berdasarkan kekuatan dan pengaruh politik.
Kavling membuat belanja negara tidak produktif dan cenderung memperkaya segelintir pihak.
Jika pemerintah tak mencari jalan keluar, Ronny mengatakan bahaya terpahit secara ekonomi yang terjadi adalah ketimpangan ekonomi yang semakin menganga dan korupsi akan semakin merajalela.
Bahaya ini berpotensi berimplikasi secara sosial, karena ketimpangan yang tinggi dan rampant corruption menyimpan risiko instabilitas sosial politik.
“Karena itu, salah satu strategi antisipasinya adalah dengan melakukan langkah-langkah strategis untuk menyeimbangkan kembali distribusi kue ekonomi nasional, mendorong pembukaan lapangan pekerjaan seluas-luasnya, menekan korupsi sampai ke level minimal, dan mengalokasikan anggaran negara secara tepat dan produktif,” katanya.
Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20250911062343-532-1272369/benarkah-ekonomi-ri-darurat-meski-masih-tumbuh-512-persen