Koranriau.co.id-

WABAH campak yang melanda Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur menimbulkan keresahan masyarakat. Pasalnya, angka kematian akibat wabah tersebut kian bertambah, dengan anak-anak sebagai kelompok yang paling rentan terinfeksi.
Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak pada Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (Unair) Irwanto menegaskan bahwa campak dapat dicegah melalui imunisasi. Namun, rendahnya cakupan vaksinasi di sejumlah daerah, termasuk Sumenep membuat penyakit ini semakin mudah menyebar hingga berkembang menjadi wabah.
“Di sana (Sumenep) memang ada penolakan vaksin dari warga. Padahal, vaksin ini mencegah terjadinya komplikasi lebih berat daripada suatu penyakit. Kebetulan kalau campak ini, imunisasi dapat mengurangi risiko komplikasi serius,” kata Irwanto dalam keterangannya, Sabtu (6/9).
Lebih lanjut, ia menambahkan, wabah campak tidak semata-mata disebabkan oleh penolakan vaksin. Faktor lain seperti status gizi yang buruk dan kurangnya vitamin A juga turut memperbesar risiko anak terjangkit campak. Kondisi tubuh yang lemah membuat daya tahan menurun, sehingga anak lebih mudah terinfeksi.
Apabila campak tidak tertangani dengan baik, maka akan berisiko memicu komplikasi yang berbahaya, mulai dari infeksi paru-paru (pneumonia), gagal napas karena minimnya alat bantu, hingga peradangan otak (ensefalitis). Semua komplikasi tersebut dapat berujung pada kematian bila tidak segera mendapat penanganan.
Prof Irwanto mengimbau agar orangtua waspada dan peka terhadap tanda-tanda awal gejala campak. Gejala biasanya muncul berupa demam tinggi hingga 40 derajat celcius, disertai batuk, pilek, dan mata merah. Dalam tiga sampai empat hari berikutnya, muncul ruam kemerahan yang menyebar ke seluruh tubuh, serta bercak putih kecil di dalam mulut (koplik spot).
“Sebenarnya, campak ditandai ruam yang kemudian menghitam sebelum sembuh. Banyak masyarakat salah kaprah menyebut penyakit lain sebagai campak, padahal bukan,” tegasnya.
Penanganan Awal
Prof Irwanto mengingatkan, begitu ruam mulai muncul pada hari ketiga, orang tua harus segera membawa anak ke dokter atau fasilitas kesehatan untuk memastikan diagnosis. Penanganan lebih awal dapat mencegah komplikasi lebih lanjut.
Selain pemeriksaan medis, orang tua juga dapat melakukan penanganan awal di rumah. Seperti memastikan anak mendapat cukup istirahat, banyak minum air tidak dehidrasi, serta memberi obat penurun panas sesuai anjuran.
“Kebersihan mata juga harus terjaga dan jauhkan dari cahaya yang terang. Penularannya lewat droplet (percikan) saat batuk atau pilek. Jadi lakukan isolasi mandiri agar tidak menular ke orang sekitar,” tambahnya.
Pentingnya Imunisasi
Ke depan, Prof Irwanto menyebut bahwa selama cakupan imunisasi di Indonesia masih rendah, maka campak akan tetap menjadi ancaman. Menurut panduan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), sambungnya, imunisasi campak idealnya diberikan saat anak berusia sembilan bulan, lalu dilanjutkan booster pada usia 15-18 bulan.
Untuk itu, Prof Irwanto menekankan pentingnya peran pemerintah, tenaga kesehatan, hingga mahasiswa dalam memberikan edukasi kepada masyarakat. Ia juga berharap melalui kejadian ini, masyarakat tidak lagi menolak vaksin dan bersama-sama meningkatkan kesadaran akan imunisasi.
“Mari bersama-sama, baik petugas kesehatan maupun masyarakat berbondong-bondong untuk meningkatkan cakupan imunisasi agar wabah campak tidak kembali terulang,” pungkasnya. (H-2)
Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/humaniora/808642/campak-merebak-guru-besar-fk-unair-sarankan-perluas-cakupan-imunisasi