Nasional

Data Kemiskinan BPS Dinilai tidak Akurat

Koranriau.co.id-

Data Kemiskinan BPS Dinilai tidak Akurat
Ilustrasi: Suasana permukiman padat penduduk di kawasan Kebon Melati Tanah Abang, Jakarta.(MI/Susanto)

BADAN Pusat Statistik (BPS) baru saja melaporkan tingkat kemiskinan nasional menurun menjadi 8,47% per Maret 2025. Namun laporan itu dinilai tidak mencerminkan kondisi riil masyarakat.

Center of Economic and Law Studies (Celios)) bahkan menyebut angka resmi BPS jauh dari realitas di lapangan. Berdasarkan laporan Bank Dunia terbaru, sekitar 68,2% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan internasional, atau sekitar 194,4 juta jiwa, jauh di atas angka resmi BPS yang mencatat 23,8 juta jiwa.

Angka kemiskinan selama menggunakan metode garis kemiskinan yang lama tidak akan menjawab realita di lapangan. Jadi BPS kalau masih keluarkan angka kemiskinan tanpa revisi garis kemiskinan, itu sama saja datanya kurang valid,” kata Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira melalui keterangannya, Jumat (25/7). 

Perbedaan definisi dan pendekatan memang menjadi faktor utama disparitas antara data nasional dan data internasional. Namun Celios menilai akar persoalan terletak pada metodologi pengukuran kemiskinan yang usang dan tak lagi relevan. 

BPS selama lima dekade masih menggunakan pendekatan berbasis pengeluaran dengan item yang hampir tidak berubah, meski struktur biaya hidup masyarakat saat ini telah jauh bergeser.

Bhima juga menyoroti dampak dari ketidakakuratan data terhadap efektivitas kebijakan pemerintah. Menurutnya, data BPS seharusnya bisa digunakan sebagai acuan dalam menyalurkan bantuan sosial. 

Namun karena data tersebut tidak mencerminkan kondisi sebenarnya, pemerintah justru mengeluarkan biaya lebih besar untuk mencari data alternatif. 

“Seharusnya data BPS bisa dipakai untuk program pemberantasan kemiskinan, tapi pemerintah harus mencari data sendiri by name by address untuk memetakan orang miskin menurut kriteria yang beda dengan BPS,” ujarnya.

Kritik serupa juga disampaikan Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar. Ia menegaskan pendekatan usang BPS berpengaruh langsung pada kebijakan anggaran dan perlindungan sosial. Karena angka kemiskinan resmi terlihat kecil, alokasi anggaran dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 pun berisiko ditekan.

“Dengan jumlah penduduk miskin yang kecil versi data pemerintah, alokasi anggaran perlindungan sosial dalam RAPBN 2026 juga berpotensi ditekan atau tidak akan mengalami peningkatan signifikan,” kata Media. 

Ia menambahkan, anggaran perlindungan sosial Indonesia hanya sekitar 1% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Vietnam, Malaysia, dan Thailand yang mencapai lebih dari 5% PDB.

Masalah lain yang timbul akibat garis kemiskinan yang terlalu rendah adalah terbatasnya jangkauan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Banyak masyarakat rentan tidak masuk kategori miskin versi BPS, sehingga otomatis tak mendapatkan bantuan sosial.

“Jika garis kemiskinan terlalu rendah, otomatis banyak masyarakat rentan yang tidak terjaring ke dalam kategori masyarakat miskin sesuai data DTKS dan akhirnya tidak menerima bantuan sosial apa pun,” jelas Media.

Celios mendorong reformasi besar-besaran dalam metodologi pengukuran kemiskinan nasional. Negara-negara seperti Malaysia dan Uni Eropa telah menyesuaikan metode mereka sesuai dinamika sosial ekonomi terkini. 

Indonesia, kata Celios, seharusnya melakukan hal yang sama, termasuk dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) untuk mendefinisikan ulang kemiskinan secara lintas sektoral.

Lebih jauh, Celios mengusulkan pendekatan berbasis pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposable income), bukan lagi sekadar pengeluaran. Dengan demikian, efektivitas kebijakan fiskal dan distribusi pendapatan negara bisa benar-benar diukur dari dampaknya terhadap kesejahteraan rakyat.

Selain itu, Celios menekankan pentingnya mengintegrasikan berbagai indikator kesejahteraan dalam evaluasi pembangunan. Akses pendidikan, layanan kesehatan, kondisi perumahan, jaminan sosial, hingga angka pengangguran dan korupsi seharusnya masuk dalam satu kerangka penilaian kebijakan publik. (Mir/E-1)

Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/ekonomi/795108/data-kemiskinan-bps-dinilai-tidak-akurat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *