Nasional

Elite Politik Mesti Peka, Rakyat Menjerit di Tengah Krisis Ekonomi dan PHK

Koranriau.co.id-

Elite Politik Mesti Peka, Rakyat Menjerit di Tengah Krisis Ekonomi dan PHK
Suasana permukiman padat penduduk di kawasan Kebon Melati Tanah Abang, Jakarta, Minggu (15/06/2025). Bank Dunia melaporkan jumlah orang miskin di Indonesia meningkat secara signifikan usai organisasi tersebut merubah standar garis kemiskinannya per Juni 20(MI/Susanto)

DIREKTUR eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengingatkan para pejabat publik dan elite politik untuk lebih peka terhadap kondisi yang dihadapi masyarakat, terutama di tengah aksi demonstrasi yang mencerminkan ketidakpuasan publik. 

Masyarakat disebut masih mengalami tekanan ekonomi dan masalah ketenagakerjaan yang kian berat, mulai dari maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan simpanan tabungan yang menurun.

“Sementara sebagian elite menikmati berbagai tunjangan dan fasilitas mewah, banyak rakyat menghadapi kesulitan ekonomi yang nyata.

Kami meminta elite politik peka terhadap kondisi masyarakat saat ini,” tegas Faisal dalam Diskusi Publik bertajuk Indonesia di Persimpangan: Reformasi Fiskal dan Masa Depan Ekonomi, secara daring, Senin (1/9).

Data menunjukkan ketimpangan ekonomi di Indonesia masih tinggi. Meskipun jumlah orang di bawah garis kemiskinan cenderung menurun, menurut BPS Maret 2025, masih ada 24 juta orang miskin. Jika diperluas dengan ambang pengeluaran per kapita di bawah Rp1 juta per bulan, jumlahnya mencapai sekitar 100 juta orang.

“Angka ini lebih dari sepertiga jumlah penduduk di Indonesia,” kata Faisal.

Lebih lanjut, ia menuturkan, meski tingkat pengangguran terbuka menurun, sebagian besar pekerja berada di sektor informal dengan presentasi mendekati 60%. Pekerja paruh waktu dan setengah menganggur meningkat lebih cepat dibandingkan pekerja penuh waktu. 

Kemudian, jumlah PHK pun tercatat terus meningkat. Mengutip data Kementerian Ketenagakerjaan pada Januari–Juli 2025 mencapai 43.500 orang terkena PHK. 

“Angka ini naik 150% dibanding periode sama tahun lalu,” ucapnya.

Selain itu, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) melaporkan hingga April 2025, jumlah klaim Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) mencapai 52.850 kasus. Faisal menambahkan, Asosiasi Pengusaha juga mencatat sebanyak 73.992 pekerja yang terdampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepanjang 1 Januari 2025 sampai 10 Maret 2025.

Ekonom Core itu juga menyoroti tren tabungan masyarakat yang menurun. Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Badan Pusat Statistik (BPS), mayoritas rekening tabungan masyarakat Indonesia memiliki saldo di bawah Rp100 juta. Hingga Juli 2024, terdapat 580,01 juta rekening dengan saldo di bawah Rp100 juta, mencakup 98,8% dari total 586,95 juta rekening di seluruh Indonesia. 

Selain itu, rata-rata saldo rekening di kelompok ini tercatat hanya sekitar Rp1,1 juta. Sebaliknya, tabungan di atas Rp2 miliar tetap meningkat, menunjukkan pelebaran ketimpangan. 

“Di saat yang sama, kecenderungan masyarakat untuk berutang konsumtif meningkat,” imbuhnya. 

Faisal menilai aksi demonstrasi yang terkadang berujung kekacauan merupakan akumulasi kekecewaan dan frustrasi masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah. Meski ada motif politik, akar masalah protes besar ini terkait penghidupan, kesejahteraan, dan keadilan ekonomi yang belum terselesaikan. 

“Ini bisa menjadi api dalam sekam yang mudah menyulut emosi masyarakat, jika ditunggangi oleh tindakan-tindakan yang provokatif,” ucapnya. (E-4)

Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/ekonomi/807097/elite-politik-mesti-peka-rakyat-menjerit-di-tengah-krisis-ekonomi-dan-phk

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *