Koranriau.co.id-

RAVI Institute, sebagai mitra resmi dari Researcher Academy Elsevier, kembali sukses menggelar webinar nasional bertajuk “Kiat Publikasi Jurnal Scopus” yang diselenggarakan pada 12 dan 14 Mei 2025. Kegiatan ini berhasil menyedot perhatian lebih dari 500 peserta dari berbagai kalangan, mulai dari profesor, dosen, mahasiswa, hingga praktisi yang memiliki ketertarikan pada dunia publikasi ilmiah bereputasi.
Pada sesi pertama yang berlangsung 12 Mei 2025, hadir sebagai narasumber utama Prof. Dr. M. Hasan, M.Si. dari Departemen Pendidikan Kimia, FKIP – Universitas Syiah Kuala. Turut bergabung dalam diskusi panel Dr. dr. Dedy Syahrizal, M.Kes. (Ketua PBBMI Provinsi Aceh dan Wakil Dekan II FK – Universitas Syiah Kuala), Viqqi Kurnianda, Ph.D. selaku Mentor Researcher Academy Elsevier dan peneliti dari University of the Ryukyus, Jepang, serta Dr. Rahmad Rizki Fazli, S.Pd., M.Si. dari Departemen Pendidikan Kimia, FKIP – Universitas Syiahla sebagai pemandu kegiatan ini.
Dr. Dedy dalam sambutannya menegaskan pentingnya momentum ini sebagai sarana peningkatan kapasitas publikasi dosen dan peneliti. Ia juga mengapresiasi komitmen Ravi Institute yang hadir tidak hanya untuk membimbing pemula, tetapi juga mendampingi para akademisi berpengalaman secara profesional.
Prof. Hasan memaparkan berbagai strategi penting dalam menyiapkan artikel ilmiah agar dapat menembus jurnal bereputasi. Ia menyoroti pentingnya memahami pola pikir reviewer, membaca metrik quartile, serta menyiapkan mental menghadapi proses publikasi yang kerap memakan waktu berbulan-bulan.
“Publikasi memang melelahkan, tapi rasa lelah itu akan sirna ketika kita menerima kabar bahwa artikel kita diterima,” ujarnya memberi semangat.
Sementara itu, pada sesi kedua pada 14 Mei 2025, Ravi Institute menghadirkan Prof. Dr. Yunisrina Qismullah Yusuf, S.Pd., M.Ling., dari Departemen Bahasa Inggris, FKIP – Universitas Syiah Kuala, Viqqi Kurnianda, Ph.D. selaku Mentor Researcher Academy Elsevier dan peneliti dari University of the Ryukyus, Jepang dan Ulung Jantama Wisha, S.Kel., M.Sc., Ph.D. dari Badan Riset dan Inovasi Nasional sebagai pemandu kegiatan ini.
Dalam pemaparannya, Prof. Yunisrina membedah secara menyeluruh proses editorial dari sudut pandang seorang pemimpin redaksi jurnal bereputasi, mulai dari penyusunan artikel, manajemen naskah, hingga tantangan dalam proses peer-review.
Ia menegaskan bahwa proses publikasi yang sah tidak mungkin hanya membutuhkan waktu lima hari. “Proses publikasi resmi memang menuntut kesabaran. Untuk jurnal kami, Studies in English Language and Education Journal (Scopus Q1), masa peer-review dari submission hingga publikasi bisa memakan waktu hingga 1,5 tahun, dengan acceptance rate hanya 9%,” jelasnya yang merupakan Editor-in-Chief pada jurnal tersebut.
Antusiasme peserta terlihat dari banyaknya pertanyaan yang masuk, terutama seputar tantangan yang mereka hadapi dalam publikasi. Prof. Hasan memberikan trik membaca dan menganalisa perkembangan metrik jurnal sehingga kita dapat menebak untuk tahun selanjutnya apakah naik atau turun sedangkan Prof. Yunisrina juga membagikan kiat mengelola rencana publikasi dan menekankan bahwa publikasi ilmiah tidak bisa dikejar secara instan.
“Anggaplah publikasi sebagai bentuk ibadah dalam memajukan ilmu pengetahuan. Jika ditolak, jangan menyerah. Satu jurnal menolak, masih ada ribuan jurnal lain yang menunggu. Karena menulis tidak pernah sempurna dan revisi bukan sebuah kegagalan namun ini adalah bagian dari perjalanan menuju publikasi yang baik” tutupnya.
Viqqi Kurnianda, Ph.D. dalam dua kesempatan menyoroti isu krusial yang kini mencemari dunia publikasi ilmiah, yakni maraknya praktik jurnal predator, jurnal discontinued, hingga praktik hijacking dan cloning. Berdasarkan analisis lapangan, lebih dari 59.000 artikel dari Indonesia teridentifikasi telah terbit di jurnal predator.
Lebih mencengangkan, ia membeberkan bahwa sejumlah layanan publikasi yang mengatasnamakan institusi resmi di Indonesia secara terang-terangan menawarkan Letter of Acceptance (LoA) hanya dalam waktu 2–3 hari—tanpa proses peer-review. Layanan ini bahkan mengklaim dapat menerbitkan artikel di jurnal bereputasi internasional dan nasional terindeks SINTA.
“Ini jelas jalur belakang (backdoor). Prosesnya tidak sah dan mengancam integritas jurnal tersebut sehingga akan berdampak ke penulis itu juga. Tidak sedikit yang akhirnya menjadi discontinued oleh Scopus dan bagi penulis maka dampaknya pembatalan gelar akademik, gelar Guru Besar bahkan lembaganya akan diturunkan akreditasinya,” tegasnya.
Viqqi juga mengungkap adanya tiga entitas yang berbeda secara nama dan website, namun diduga dikelola oleh kelompok yang sama dan menawarkan skema serupa. “Modus ini terdeteksi karena metode layanan yang identik serta berasal dari wilayah yang sama bahwa ada petisi yang menyeruakan agar layanan ini ditutup. Praktik ini bukan hanya merugikan individu, tetapi juga mencoreng reputasi akademik nasional. Negara harus hadir dan Kementerian Pendidikan Tinggi perlu segera bertindak terkait praktik kotor ini yang secara tidak langsung berdampak pada kualitas publikasi Nasional,” pungkasnya.
Di akhir sesi, Viqqi mengajak seluruh peserta untuk menjauhi praktik curang dalam publikasi. “Publikasi bukan sekadar terbit. Ini tentang bagaimana jejak ilmiah kita dikenang dan dipercaya,” tutupnya.
Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian program edukasi yang diinisiasi Ravi Institute bersama Researcher Academy Elsevier untuk menanamkan budaya publikasi yang etis, kredibel, dan berkualitas tinggi di lingkungan akademik Indonesia.
Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/humaniora/772981/guru-besar-universitas-syiah-kuala–publikasi-ilmiah-tidak-bisa-dikejar-secara-instan-