Koranriau.co.id-

SALAH satu poin penting dari (Sustainable Development Goals-SDGs) 2030 adalah upaya mengakhiri epidemi HIV/AIDS dan infeksi menular seksual. Untuk itu, Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo menegaskan pentingnya keberlanjutan program penanggulangan HIV dan AIDS di Kota Yogyakarta dalam mendukung tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan tersebut.
Dalam konteks itu, Pemkot mengacu pada strategi global melalui pendekatan “jalur cepat” atau fast track, dengan target 95-95-95.
“Strategi 95-95-95 merujuk pada 95% orang dengan HIV mengetahui statusnya, 95% dari yang sudah terdiagnosis mendapatkan terapi ARV (antiretroviral) dan 95% dari mereka yang menjalani terapi ARV mencapai supresi virus,” kata Hasto saat Refleksi Program Pengendalian Terpadu HIV dan AIDS yang digelar di Hotel Tjokro Style Yogyakarta, Rabu (18/6).
Di Kota Yogyakarta, jumlah kasus HIV tercatat sebanyak 1.425 kasus, dengan 337 di antaranya sudah masuk dalam kategori AIDS. Angka ini menunjukkan bahwa persoalan HIV/AIDS bukan hal yang bisa dianggap ringan, meski belum masuk kategori epidemi besar.
“Jumlah ini relatif masih terjangkau, maka upaya pengendalian dan penanganannya harus serius dan sistematis,” ungkap dia.
Strategi pemutusan rantai penularan juga harus difokuskan pada kantong-kantong populasi dengan risiko tinggi. Ketika ada pergeseran lokasi, seperti yang terjadi pascarelokasi kawasan Bong Suwung, petugas sangat penting memetakan ulang distribusi populasi berisiko dan memastikan mereka tetap dalam jangkauan layanan.
Kendala Biaya
Hasto bahkan menyampaikan keluhan masyarakat yang ingin melakukan skrining HIV tapi terkendala biaya, terutama bagi warga luar kota. Kolaborasi lintas lembaga dan komunitas sangat dibutuhkan agar siapa pun bisa mendapat layanan skrining gratis, khususnya yang berada di wilayah berisiko tinggi.
Selain HIV, Hasto juga menekankan bahaya penyakit tuberkulosis (TBC) yang kerap muncul sebagai infeksi sekunder pada penderita HIV. Ia menceritakan kasus bayi usia enam bulan yang sudah positif TB dan HIV, menunjukkan pentingnya deteksi dini pada ibu dan bayi sejak awal.
“Kalau anak kena TB sejak sebelum umur dua tahun, hampir pasti stunting, gizi buruk, dan kesehatan jangka panjangnya terganggu. Maka skrining pada ibu hamil, dan penguatan layanan di Puskesmas harus ditingkatkan,” jelasnya.
Saat ini, di Puskesmas Gedongtengen menangani 376 pasien secara rutin dan Tegalrejo sekitar 200 pasien. Semua mendapatkan layanan terapi ARV secara gratis.
Selain itu, bagi mereka yang belum positif namun terpapar risiko, tersedia layanan Pre-Exposure Prophylaxis (PrEP), sebagai bentuk pencegahan dini. termasuk wilayah Umbulharjo 1 yang akan segera difokuskan sebagai lokasi intervensi.
“Mereka yang sudah minum PrEP tetap harus skrining setiap tiga bulan. Mudah-mudahan dengan PrEP ini, konsumsi obat pencegahan maka yang sudah terpapar tapi tidak positif selamanya tidak positif itu itu harapannya,” tegasnya.
Perlu dicatat pula, lanjut Hasto, risiko penularan HIV sangat berkaitan erat dengan perilaku seksual berisiko. Karena itu, edukasi dan sosialisasi tentang seks aman, penggunaan alat pelindung, serta perubahan perilaku tetap menjadi tantangan yang perlu dikerjakan bersama, dengan pendekatan yang sensitif dan berbasis komunitas.
“Kalau SDM Kota Yogyakarta ini tidak sehat, maka selesai sudah. Kita tidak punya tambang, tidak punya hutan, yang kita punya hanya manusianya. Maka manusianya harus sehat, kuat, dan tidak boleh kalah oleh HIV maupun TB,” pungkasnya.
Libatkan Warga
Direktur Unit Pelayanan Kesehatan Masyarakat (UPKM) Bethesda YAKKUM, Wahyu Priosaptono, menegaskan, pihaknya telah melaksanakan program pengendalian HIV bersama mitra sejak 2019 di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Belu.
“Kami bersyukur atas berbagai capaian, mulai dari kebijakan yang berpihak, peningkatan layanan yang ramah terhadap kelompok rentan, hingga penurunan stigma di masyarakat,” ungkap Wahyu.
Ia pun mengatakan, target global 2030 tanpa infeksi baru, tanpa kematian akibat AIDS, dan tanpa stigma memang menantang. Namun, hal itu menjadi semangat bersama untuk terus melahirkan strategi dan inovasi baru.
“Kuncinya ada pada kerja kolaboratif dan membangun jaringan mitra yang lebih luas,” lanjutnya.
Project Manager Program Pengendalian Terpadu HIV dan AIDS di UPKM YAKKUM Bethesda, Ganis Kristia menjelaskan pada tahun 2019, pihaknya melakukan pembentukan ulang dan pengorganisasian Warga Peduli Aids (WPA) di delapan kelurahan. Delapan kelurahan yang didampingi meliputi Kelurahan Bener, Kricak, Sosromenduran, Pringgokusuman, Gedongkiwo, Suryodiningratan, serta Warungboto dan Giwangan.
Serangkaian pelatihan terkait HIV dan AIDS, advokasi, edukasi masyarakat, hingga peningkatan keterampilan telah dilakukan, seperti teknik pijat, pemanfaatan herbal dan pangan lokal, serta pelatihan pendampingan bagi orang dengan HIV (ODHIV).
“Termasuk pelatihan untuk menjadi pengawas minum obat ARV juga kami berikan,” imbuh dia.
Dengan pelatihan-pelatihan yang telah diberikan, WPA bisa menjalankan tiga peran utama: edukasi masyarakat, identifikasi risiko, dan menjaga lingkungan tetap kondusif jika ada ODHIV di wilayahnya. “Kami ingin kegiatan WPA terus berlanjut, dan menjadi bagian dari penguatan masyarakat yang inklusif dan sehat,” tutup dia. (H-2)
Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/humaniora/784369/kasus-hiv-di-kota-yogyakarta-tercatat-1425-kasus-dengan-337-sudah-kategori-aids