Koranriau.co.id –
Kementerian Investasi dan Hilirisasi/ BKPM mencatat sepanjang Semester I-2025 pemerintah telah berhasil menarik investasi hampir Rp1.000 triliun ke dalam negeri. Capaian tersebut diklaim menyerap lebih dari 1,2 juta lapangan kerja yang tersebar di seluruh Indonesia.
Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM Rosan Roeslani mengatakan dalam enam bulan pertama tahun ini, pemerintah berhasil mengumpulkan investasi Rp942,9 triliun dan menyerap 1.259.868 tenaga kerja.
“Ini sangat sesuai dengan rencana yang kita jalankan. Yang paling penting yang ingin saya highlight adalah penyerapan tenaga kerjanya, tepatnya 1.259.868 orang. Ini adalah tenaga kerja yang tercipta dari 6 bulan pertama di 2025,” kata Rosan di Kementerian Investasi, Jakarta Selatan, Selasa (29/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita melihat penyerapan tenaga kerja tersebut cukup moderat karena porsi besar investasi saat ini tak lagi ke sektor padat karya.
Menurutnya, porsi besar investasi saat ini mengalir ke sektor padat modal dan sektor portofolio, seperti pembelian surat utang dan saham, yang umumnya tidak banyak menyerap tenaga kerja langsung.
“Investasi di Indonesia itu rata-rata padat modal. Nggak semuanya masuk ke sektor padat karya. Sementara sektor manufaktur kita saat ini juga lagi negatif, jadi opportunity investasi di sana kurang menarik,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com.
Ronny melihat bahwa fenomena ini menggambarkan kondisi struktural. Artinya, investasi yang masuk walau besar tidak otomatis berarti penciptaan lapangan kerja.
Di sektor padat modal seperti hilirisasi tambang atau energi, nilai investasi besar tetapi penggunaan tenaga kerja cenderung terbatas karena teknologi dan mesin mendominasi.
Fakta ini ia nilai harus menjadi perhatian khusus pemerintah karena menandakan bahwa kualitas dan arah investasi Indonesia saat ini perlu diperbaiki. Sebab, pekerja di Tanah Air tak semuanya bisa masuk ke sektor padat karya.
“Tenaga kerja kita itu tidak hanya lulusan SMP atau SMA. Banyak juga lulusan S1 dan S2 yang membutuhkan pekerjaan yang sesuai. Jadi kita butuh keseimbangan antara padat modal dan padat karya,” jelasnya.
Oleh sebab itu, ia melihat arah kebijakan pemerintah perlu disusun ulang. Sebab, Ronny menilai apapun bentuk investasinya, baik padat modal, padat karya, maupun portofolio, semuanya dibutuhkan.
Namun, apabila tujuan utama pemerintah adalah menyerap tenaga kerja sebanyak mungkin, maka porsi dan prioritas investasi harus benar-benar diarahkan, tidak hanya dibiarkan berjalan mengikuti arus pasar.
“Kalau memang sektor padat karya jadi prioritas, apakah pemerintah sudah melakukan langkah nyata ke sana? Atau masih sebatas rutinitas biasa?,” terangnya.
Senada, Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet juga melihat fenomena ini mencerminkan perubahan struktur ekonomi nasional, di mana investasi lebih banyak mengalir ke sektor-sektor padat modal seperti hilirisasi tambang, energi, dan infrastruktur.
“Sektor-sektor ini penting untuk menopang pertumbuhan jangka panjang, tetapi dalam konteks penciptaan lapangan kerja, daya serapnya relatif rendah dibanding sektor padat karya,” kata Rendy.
Menurut Rendy, secara teori, meningkatnya investasi seharusnya menjadi motor penciptaan lapangan kerja.
Namun, dalam praktiknya, investasi di sektor padat modal lebih mengandalkan mesin dan teknologi dibandingkan tenaga manusia. Alhasil, nilai investasi yang besar tidak selalu berbanding lurus dengan jumlah tenaga kerja yang diserap.
“Tidak ada formula baku mengenai berapa banyak tenaga kerja yang harus diciptakan dari satu miliar rupiah investasi, misalnya,” jelas Yusuf.
Menurutnya, di kondisi saat ini penyerapan tenaga kerja sangat bergantung pada karakteristik sektor, intensitas teknologi yang digunakan, serta arah dan strategi pembangunan nasional secara keseluruhan.
Ia mencontohkan, di Vietnam misalnya, investasi asing langsung (FDI) memainkan peran besar dalam penyerapan tenaga kerja, terutama di sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik.
Perusahaan asing di negara tetangga RI itu bahkan mempekerjakan hampir 5 juta pekerja dan menyumbang hampir 20 persen dari produk domestik bruto (PDB) negara tersebut.
Namun, tantangannya pun nyata yakni upah rendah, kondisi kerja berat, dan kurangnya tenaga kerja terampil sehingga membatasi peningkatan kualitas lapangan kerja yang tersedia.
“Jika Indonesia ingin menghidupkan kembali sektor padat karya, kuncinya bukan hanya soal menarik investasi, tapi juga meningkatkan skala usaha agar lebih efisien dan mampu menaikkan upah pekerja secara bertahap,” kata dia.
Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20250730061940-532-1256472/kenapa-investasi-rp942-t-hanya-bisa-ciptakan-12-juta-lapangan-kerja