Koranriau.co.id-

TULISAN-TULISAN saya di Calak Edu selalu mengingatkan dan mengajak sekolah, masyarakat, dan keluarga untuk mengarusutamakan pendidikan untuk perdamaian. Rasanya hampir klise, tetapi faktanya kekerasan di sekolah di Indonesia masih terus terjadi—mulai dari perundungan hingga kekerasan struktural dan kultural yang kerap luput dari perhatian. Kita seakan tak pernah tuntas memahami bahwa menghentikan kekerasan tidak cukup dengan aturan dan hukuman. Penghentian kekerasan di tingkat satuan pendidikan harus dimulai dari membangun nilai-nilai damai yang benar-benar dihidupi bersama.
Pada momentum Hari Guru Nasional 2025, saya ingin menggeser fokus ke satu aktor yang sering disebut tetapi jarang benar-benar digarap dalam merespons kekerasan di sekolah, yakni kepala sekolah. Di Indonesia, diskusi tentang pencegahan kekerasan di sekolah hampir selalu berkutat pada kurikulum, perilaku siswa, atau kompetensi guru. Padahal, ada satu posisi yang menentukan arah dan atmosfer seluruh sekolah: kepala sekolah. Jika sekolah diibaratkan sebagai kapal, kepala sekolah adalah nakhodanya. Perjalanan yang aman menuju pelabuhan tujuan sangat bergantung pada bagaimana sang nakhoda mengemudikannya.
NAKHODA YANG TAHU TUJUAN PELAYARAN
Di banyak sekolah yang saya kunjungi, saya selalu bertanya kepada kepala sekolah, “Apa visi sekolah Anda?” Sayangnya, jawaban yang muncul kerap mengecewakan. Tidak sedikit dari mereka yang bahkan tidak benar-benar mengingat, apalagi menghidupi visi yang telah disepakati.
Visi itu hanya menjadi kalimat indah yang ditempel di dinding atau diselipkan dalam dokumen akreditasi. Ia tidak menjadi peta arah yang membimbing pengambilan keputusan. Ini ironi besar. Bagaimana mungkin nakhoda mengarahkan kapal jika ia sendiri tidak tahu pelabuhan mana yang dituju? Bagaimana mungkin sekolah mampu menumbuhkan budaya damai dan nirkekerasan bila visinya tidak pernah menjadi kompas moral bagi seluruh warganya?
Fenomena ini bukan sekadar persoalan praktik sehari-hari. Riset akademik juga menunjukkan bahwa kepemimpinan sekolah yang etis, komunikatif, dan berorientasi pada perdamaian berpengaruh langsung terhadap perilaku siswa. Penelitian Rima’a Da’as dan koleganya (2023), misalnya, menunjukkan bahwa kepemimpinan etis kepala sekolah berhubungan negatif dengan sikap agresif siswa. Semakin etis dan dialogis pemimpinnya, semakin kecil kecenderungan siswa menormalisasi kekerasan.
Riset di Nigeria oleh Mustapha Adam Ishola dan koleganya (2022) juga menemukan hubungan signifikan antara gaya kepemimpinan demokratis kepala sekolah dan keberhasilan pendidikan perdamaian di sekolah menengah. Sementara itu, di Afrika Selatan, studi Ndwandwe (2024) menegaskan bahwa kepala sekolah sangat menentukan apakah sekolah mampu mengembangkan iklim belajar yang aman dan inklusif. Ketiga studi itu memberi pesan jelas: dengan kepemimpinan yang kuat, peluang sekolah menjadi lingkungan yang aman dan damai akan jauh lebih besar.
Kepala sekolah bukan sekadar administrator yang memastikan absensi, anggaran BOS, atau urusan sarana dan prasarana berjalan. Dia adalah figur moral yang menjadi teladan dan sumber nilai bagi seluruh warga sekolah. Jika kepala sekolah masih menganggap tamparan sebagai cara ‘mendidik’, seluruh sekolah menerima sinyal bahwa kekerasan adalah sesuatu yang sah. Dan, ketika kepala sekolah berbicara kepada guru atau tenaga kependidikan dengan nada mengintimidasi, siswa pun belajar bahwa kekuasaan digunakan untuk menekan, bukan membimbing. Sering kali, budaya kekerasan lahir bukan dari siswa, melainkan dari cara orang dewasa memperlakukan satu sama lain.
Masalahnya, kemampuan kepemimpinan seperti ini tidak muncul begitu saja. Di sinilah persoalan struktural Indonesia tampak: pelatihan kepala sekolah hampir tak pernah membahas pendidikan perdamaian, manajemen konflik, atau komunikasi nirkekerasan. Yang lebih sering ialah pelatihan teknis seperti laporan BOS, kelengkapan administrasi, atau persiapan akreditasi. Padahal di lapangan, kepala sekolah bukan hanya penjaga dokumen, melainkan juga pengarah budaya sekolah.
Berita dugaan pungutan liar untuk menjadi kepala sekolah di beberapa daerah (Kuningan Mass, 12 Mei 2022; Startnews, 17 April 2025; KalderaNews, 19 September 2025) semakin menambah keresahan dan mempertanyakan kompetensi kepemimpinan kepala sekolah. Jika pemilihan kepala sekolah masih sarat transaksi, sulit berharap lahirnya pemimpin moral yang mampu menjadi teladan perdamaian.
Ungkapan Presiden Prabowo Subianto dalam pidato pelantikannya pada 20 Oktober 2024 sangat relevan: “Kalau ikan menjadi busuk, busuknya mulai dari kepala.” Hal yang sama berlaku bagi sekolah. Kekerasan di lingkungan pendidikan kerap bukan bersumber dari murid, melainkan dari mutu kepemimpinan orang dewasa yang memegang kendali atas kapal pendidikan ini.
NAKHODA YANG MUMPUNI
Pencegahan kekerasan di sekolah tidak bisa hanya mengandalkan program antiperundungan, poster ‘Stop Bullying’, atau seminar motivasi. Semuanya penting, tetapi tidak cukup. Pencegahan kekerasan adalah soal membangun ekosistem damai yang dimulai dari pemimpin yang tahu arah kapal. Kepala sekolah harus memahami, menginternalisasi, dan menghidupi visi sekolah; meneladani nilai-nilai perdamaian; mampu menyampaikan ide dengan bahasa nirkekerasan; mau mendengar keluhan warga sekolah; menyelesaikan konflik dengan dialog, bukan ancaman; membangun budaya saling percaya; dan memberi contoh bagaimana orang dewasa merawat relasi.
Jika kepala sekolah mampu menjalankan hal-hal tersebut, guru akan terpacu bergerak sejalan, tenaga kependidikan merasa dihargai serta terlibat dalam visi sekolah, dan siswa melihat bahwa kekerasan bukanlah perilaku yang bisa dibenarkan.
Kita terlalu lama menaruh beban moral pada anak-anak, seolah merekalah sumber kekacauan. Padahal anak-anak belajar dari atmosfer yang diciptakan orang dewasa di sekeliling mereka. Kini saatnya kita menata ulang perspektif. Pencegahan kekerasan bukan soal memperbanyak aturan, melainkan memperkuat pemimpin yang menjalankan visi damai secara konsisten.
Jika kita ingin sekolah-sekolah di Indonesia benar-benar bebas dari kekerasan, langkahnya jelas: memilih, menyiapkan, dan mendampingi kepala sekolah yang mumpuni—mereka yang paham arah sekolah dan mampu menggerakkan seluruh warganya ke sana. Tanpa itu, kapal pendidikan akan terus berlayar tanpa arah, terombang-ambing di lautan. Sementara kekerasan tetap menjadi badai yang menghantam dari segala penjuru dan siap mengaramkan perjalanan.
Yang kita pertaruhkan bukan hanya keselamatan manusia yang berada di kapal saat ini, melainkan juga masa depan mereka dan bangsa ini.
Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/opini/833245/kepala-sekolah-sang-nakhoda-kapal-perdamaian




