Koranriau.co.id-

MEWUJUDKAN generasi cerdas dan kuat melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan investasi jangka panjang bangsa yang patut diapresiasi. Bukti global dari UNICEF (2019) dan World Food Programme (2020) menunjukkan, program makan sekolah memiliki manfaat multipihak. Selain meningkatkan status gizi, program ini juga memperbaiki kehadiran siswa dan konsentrasi belajar. Lebih dari itu, ia berfungsi sebagai jaring pengaman sosial bagi keluarga kurang mampu.
Namun, implementasinya di lapangan justru memunculkan paradoks: makanan yang seharusnya melindungi malah berisiko. Beberapa daerah melaporkan kasus makanan basi, distribusi yang buruk, hingga keracunan massal yang menimpa ribuan anak di beberapa sekolah.
Masalah utama tidak terletak pada tujuan mulia MBG, melainkan pada kesenjangan implementasi yang masih mengutamakan target kuantitatif—berapa banyak porsi yang berhasil didistribusikan—ketimbang indikator kualitas dan keamanan pangan. Ironisnya, ketidaksiapan sistem justru menimbulkan korban kesehatan yang bertolak belakang dengan tujuan program.
Oleh karena itu, niat baik saja tidak cukup. Diperlukan transformasi menyeluruh yang mencakup perbaikan struktur, pengawasan ketat, dan manajemen yang akuntabel. Mulai dari alokasi anggaran yang memadai untuk kualitas bahan, pelatihan bagi penyedia makanan, hingga keterlibatan orang tua dalam monitoring. Hanya dengan sistem transparan dan berkelanjutan, hak anak atas makanan sehat dapat terpenuhi.
Dengan demikian, MBG tidak akan tereduksi menjadi sekadar pemenuhan target administratif, melainkan benar-benar menjadi fondasi generasi emas Indonesia. Persoalan implementasi ini menjadi semakin krusial mengingat pemenuhan makanan sehat sebenarnya adalah kewajiban hukum yang telah diatur dalam berbagai instrumen legal.
MAKANAN SEHAT ADALAH KEWAJIBAN NEGARA
Hak anak atas makanan sehat adalah hak asasi yang dijamin oleh hukum internasional maupun nasional. UNICEF (2020) menegaskan bahwa akses anak pada makanan sehat, aman, dan bergizi adalah hak dasar, bukan sekadar kebutuhan tambahan.
Konvensi Hak Anak PBB (Convention on the Rights of the Child), yang sudah diratifikasi Indonesia sejak 1990, menekankan bahwa setiap anak berhak atas standar hidup yang memadai, termasuk pangan yang layak bagi kesehatan dan perkembangan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (yang diperbarui dengan UU No 35 Tahun 2014) juga menjamin hak anak atas makanan bergizi seimbang.
Pasal-pasal dalam CRC dan UU No 35 Tahun 2014 sama-sama menegaskan kewajiban negara untuk memastikan ketersediaan pangan layak bagi pertumbuhan anak. Dengan demikian, MBG bukan sekadar bantuan sosial, melainkan implementasi kewajiban negara terhadap hak anak. Penyediaan makanan bergizi bagi anak bukanlah ‘hadiah’ dari negara, melainkan kewajiban.
Dalam kerangka hak asasi, negara harus memastikan makanan yang diberikan tidak hanya tersedia, tetapi juga aman, layak, dan sesuai kebutuhan tumbuh kembang. Setiap piring makanan yang diletakkan di depan seorang anak adalah simbol penghormatan negara kepada warganya yang paling kecil dan paling rentan. Jika gagal menyediakan makanan yang aman dan bergizi, negara juga gagal menghormati hak dasar anak-anaknya. Setelah memahami landasan hukumnya, penting untuk mendefinisikan secara operasional apa yang dimaksud dengan makanan bergizi tersebut.
APA ITU MAKANAN BERGIZI?
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 41 Tahun 2014, makanan bergizi didefinisikan sebagai makanan yang mengandung zat gizi dalam jenis dan jumlah sesuai kebutuhan tubuh, mencakup karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, air, dan serat, yang dikonsumsi secara seimbang dan beragam.
Hardinsyah & Supariasa (2016) menambahkan bahwa gizi seimbang harus memenuhi kebutuhan energi, protein, vitamin, dan mineral sesuai dengan usia, jenis kelamin, dan kondisi fisiologis. Artinya, kebutuhan gizi tidak dapat disamaratakan antara balita, remaja, atau ibu hamil.
Selain kelengkapan zat gizi, makanan bergizi juga mengutamakan bahan alami non-olahan, berbasis pangan lokal, serta bebas dari zat berbahaya seperti formalin atau pestisida berlebihan (Tan Shot Yen, 2025).
Indonesia telah beralih dari slogan ‘Empat Sehat Lima Sempurna’ menjadi konsep ‘Isi Piringku’ yang diperkenalkan Kementerian Kesehatan pada 2014. Pedoman ini menekankan proporsi setengah piring untuk sayur dan buah, serta setengah piring lainnya untuk karbohidrat dan lauk protein. Prinsipnya, makan sehat bukan hanya tentang jenis, tetapi juga keseimbangan dan keragaman.
Sayangnya, definisi ideal ini sering tidak terwujud dalam menu MBG di lapangan. Bukannya menerapkan prinsip ‘Isi Piringku’, banyak sekolah justru menyajikan menu seperti burger dan spageti yang minim gizi. Meski demikian, menu modern tetap dapat menjadi alternatif jika diolah dengan kandungan gizi yang jelas, menggunakan bahan lokal yang aman, dan disesuaikan dengan budaya makan anak Indonesia.
MBG sebagai langkah strategis berisiko kehilangan makna tanpa komitmen pada kualitas gizi. Program bisa terdegradasi menjadi sekadar aktivitas ‘mengisi perut’ tanpa kontribusi nyata bagi generasi emas Indonesia.
EDUKASI DAN PENGAWASAN TRANSPARAN DI SEKOLAH
Menghadapi tantangan kualitas menu ini, diperlukan pendekatan komprehensif yang melampaui sekadar penyediaan makanan. Sekolah harus menjadi ruang pembelajaran hidup sehat, bukan sekadar menjadi tempat menerima makanan.
Jadikan program MBG sebagai bagian dari proses belajar, bukan hanya bantuan. Guru memastikan pemberian makanan layak. Siswa diajari memahami makna gizi seimbang. Dengan cara ini, mereka dapat memilih makanan sehat di luar sekolah. Orangtua juga harus terlibat sehingga edukasi gizi berlanjut di rumah.
Pengawasan transparan di sekolah penting dilakukan untuk membuka ruang partisipasi. Tidak ada informasi yang harus dirahasiakan. Setiap pihak harus memiliki tanggung jawab terhadap berjalannya program MBG ini. Transparansi pengawasan memberi akses bagi sekolah, komite, dan orangtua untuk melacak asal-usul bahan, proses pengolahan, hingga distribusi makanan.
Jika informasi itu tersedia dan dapat diakses, semua pihak bisa menilai apakah standar keamanan pangan sudah dijalankan dengan benar. Melalui langkah edukatif dan pengawasan ketat, MBG tak sekadar menjadi program distribusi makanan. Lebih dari itu, ia berubah menjadi wahana pembelajaran sosial, teladan integritas, dan ruang partisipasi untuk mewujudkan generasi sehat.
Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/opini/817854/mbg-antara-cita-cita-dan-lapangan