Koranriau.co.id-

RETNO Ndari, seorang ibu tiga anak usia SD, mengaku kerap cemas jika anaknya bermain gim, terutama gim daring yang memiliki teknologi user-generated. Ia mengaku tidak bisa melarang karena jenama gim tersebut yang memang terkenal dan digemari anak-anak.
“Itu kalau gim yang pemainnya bisa bikin-bikin prompt, (konten) yang aneh-aneh atau kekerasan bisa aja ke akses yang lagi dimainin anak. Jadi was-was, tapi dilarang susah, karena gim itu terkenal banget,” tuturnya, kepada Media Indonesia, Jumat (17/10). Wanita karir berusia 35 tahun itu berharap adanya pengaturan pada gim-gim yang beredar, karena mengandalkan fitur parental controls tidaklah ampuh.
Bersambut dengan harapan Retno dan banyak orangtua di Indonesia, Sabtu (11/10) di Bali, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) baru saja meluncurkan Indonesia Game Rating System (IGRS). Dalam peluncuran, Menkomdigi Meutya Hafid, mengatakan IGRS bertujuan untuk mendukung industri gim Indonesia sekaligus melindungi anak-anak dari paparan konten yang tidak sesuai dengan usia mereka. “Pada prinsipnya ini dilakukan untuk meningkatkan dan melindungi industri gim. Tapi, pada saat yang bersamaan juga melindungi para gamers, khususnya anak-anak,” jelasnya dilansir Antara.
IGRS merupakan sistem klasifikasi gim nasional pertama di Asia Tenggara. Aturan itu efektif berlaku pada 2026 untuk semua gim yang diterbitkan di Indonesia. “Jadi, pada 2026, kita harapkan gim yang beroperasi di Indonesia sudah memiliki angka ratingnya,” tambah Meutya.
IGRS sendiri akan punya lima klasifikasi usia: 3+, 7+, 13+, 15+, dan 18+. Serta ada kategori RC (Refused Classification). Kategori terakhir adalah gim dengan konten terlarang. Dengan diresmikannya IGRS maka pengembang, publisher, dan pelaku gim secara umum akan menginformasikan klasifikasi gim mereka. Wujudnya adalah kewajiban menampilkan label klasifikasi usia yang sudah dikelompokkan oleh IGRS.
“IGRS sebenarnya adalah upaya perlindungan kepada masyarakat, khususnya ini akan menjadi pedoman sebenarnya bagi orangtua ketika memilih gim yang sesuai untuk anak-anak mereka, ujar Head of Game Classification Implementation Komdigi Tita Ayuditya Surya dalam wawancara bersama Media Indonesia di kantor Komdigi, Jakarta Pusat, Kamis, (16/10). “IGRS adalah sebuah layanan klasifikasi gim nasional Indonesia yang ketentuannya merefleksikan nilai, norma, budaya, dan tradisi Indonesia,” tambahnya.
Menciptakan gim yang aman adalah bagian dari komitmen Komdigi menciptakan perlindungan anak di ranah daring. Komdigi juga menginisiasi lahirnya Peraturan Pemerintah 17/2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas), yang telah diteken Presiden Prabowo pada Maret 2025.
IGRS juga salah satu wujud dari strategi perlindungan anak di ranah daring yang memang diamanatkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 87 Tahun 2025 tentang Peta Jalan Pelindungan Anak di Ranah dalam Jaringan Tahun 2025-2029.
Proses Klasifikasi – Mekanisme Banding
Untuk penerapan klasifikasi usia gim, layanan diselenggarakan oleh Komdigi melalui Direktorat Pengembangan Ekosistem Digital. Nantinya, para penerbit gim akan melakukan self-assessment di sistem IGRS dengan melampirkan bukti-bukti seperti cuplikan gim, gameplay-nya, termasuk bukti jika gim tersebut memuat konten kekerasan.
Dalam prosesnya, para penerbit juga memiliki hak untuk melakukan sanggah hingga banding. Sanggah bisa dilakukan ketika penerbit merasa klasifikasi usia gim hasil self assessment IGRS tidak sesuai. “Dengan catatan memang penerbit bisa menunjukkan bukti-bukti yang sesuai. Sanggah itu pada saat proses klasifikasi ya,” tegas Tita.
Tita menegaskan label klasifikasi usia yang disematkan pada sebuah gim, IGRS bukan bertujuan untuk melakukan penyensoran maupun pembatasan. Justru, menjadikan edukasi. (M-1)
Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/humaniora/821854/menciptakan-perlindungan-anak-di-ranah-gim