Mengapa Banyak Kuliner Nonhalal di Solo? Ini Bukti Sejarahnya
Makanan

Mengapa Banyak Kuliner Nonhalal di Solo? Ini Bukti Sejarahnya

Koranriau.co.id-


Jakarta

Kuliner nonhalal di Solo tengah jadi sorotan usai viral kasus Ayam Goreng Widuran yang banyak dikira halal ternyata nonhalal. Menyoal kehadiran kuliner nonhalal di Solo, ternyata berawal dari peristiwa bersejarah Geger Pacinan.

Kasus Ayam Goreng Widuran di Solo mendapat perhatian luas dari publik karena menu ayam goreng yang banyak dikira pasti halal, ternyata nonhalal di tempat ini. Penyebabnya karena kremesan ayam goreng diproses bersama minyak babi, seperti diungkap seorang pegawainya.

Kuliner nonhalal lain di Solo pun ikut jadi sorotan. Banyak yang baru tahu bahwa ada banyak pilihan menu nonhalal di kota batik ini. Sebut saja sate babi, babi kuah, tongseng babi, hingga sate jamu (berbahan daging anjing) yang kontroversial.


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

5 Fakta Sate Jamu, Makanan Esktrem Nonhalal Khas Solo yang TerkenalSate jamu berbahan daging anjing yang kontroversial di Solo. Foto: Istimewa

Lantas bagaimana awalnya kuliner nonhalal menjamur di Solo? Kepada detikfood (30/5), chef sekaligus sejarawan kuliner, Wira Hardiyansyah menjelaskan sejarahnya. Ia menuturkan meleburnya budaya Pecinan di Solo terjadi sekitar abad ke-18 hingga ke-19.

“Saat itu Belanda mengumpulkan orang etnis Tionghoa di belakang Pasar Gede. Semakin lama, interaksi sosial terjadi, tapi mereka tidak berani terlalu ekstrem. Lalu ketika presiden Gus Dur memberi kebebasan kepada etnis Tionghoa, baru semuanya menjamur,” ujar Wira.

Dalam hal ini, kuliner nonhalal pun jadi jamak ditemui di Solo. Ini juga karena ada permintaan pasar. “Jadi orang-orang China di Solo itu biasanya merantau dari daerah sekitar di Jawa Tengah, seperti dari Semarang. Saat mereka merantau, mereka membuat masakan nonhalal yang sifatnya rumahan,” kata Wira.

Ia melanjutkan, “Jadi masakan rumahan nonhalal itu sebagai pelepas rindu saat merantau dari kampung. Pada akhirnya disukai orang lain juga. Bahkan di Solo ada festival kuliner nonhalal.”

Suasana festuval kuliner nonhalal di Solo Paragon Mal, Kamis (4/7/2024).Suasana festival kuliner nonhalal yang berlangsung di Solo Paragon Mal, Kamis (4/7/2024). Foto: Tara Wahyu NV/detikJateng

Peristiwa Geger Pacinan turut menjadi tonggak sejarah kehadiran kuliner nonhalal di Solo. Wira menjelaskan, tragedi adu domba oleh pihak Belanda ini memicu pecahnya perang antara etnis Tionghoa dan pribumi. Peristiwa pertama terjadi di Jakarta, kemudian yang kedua terjadi di Semarang.

Banyak etnis Tionghoa di Semarang kemudian pindah, salah satunya ke Solo. Di kota ini, kehadiran mereka diterima oleh Kasultanan Mangkunegara.

Menjamurnya kuliner nonhalal di Solo juga terkait dengan peran pemimpin daerah. “Setelah era Gus Dur, para wali kota itu mau menunjukkan bahwa citra Solo sebagai kota toleransi. Tak ada yang salah dengan hal ini. Namun dalam kasus Ayam Goreng Widuran, yang jadi masalah adalah penjual tidak transparan mengatakan menunya nonhalal,” ungkap Wira.

(adr/odi)

Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://food.detik.com/info-kuliner/d-7939885/mengapa-banyak-kuliner-nonhalal-di-solo-ini-bukti-sejarahnya

redaksiriau
Redaksi Riau Merupakan Jurnalis Part Time Dari Koran Riau yang bekerja di beberapa media skala nasional di indonesia
https://www.koranriau.co.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *