Nasional

Perubahan KUHAP Dinilai Harus Menjamin Parameter Pidana Secara Jelas

Koranriau.co.id-

Perubahan KUHAP Dinilai Harus Menjamin Parameter Pidana Secara Jelas
Ilustrasi.(MI)

KETUA Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia (PEDPHI) sekaligus pakar hukum pidana, Abdul Chair Ramadhan, mengatakan bahwa perubahan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) di Indonesia sudah selayaknya dilakukan. Akan tetapi, substansinya harus memenuhi prinsip keadilan.

“Pembahasan RUU KUHAP sudah selayaknya dilakukan terutama untuk merevisi atas hukum pidana formil setelah setengah abad kita gunakan. Ada banyak problematika serius, seperti praktik intimidasi dalam proses penyelidikan, penyidikan hingga proses peradilan hingga perlakuan diskriminatif oleh aparat penegak hukum,” ujar Abdul dalam keterangannya, Senin (21/4).

Abdul menjelaskan bahwa pembahasan RUU KUHAP yang baru dipandang cukup relevan dilakukan karena adanya urgensitas bagi kepentingan perlindungan hukum terhadap tersangka dan terdakwa. 

“Sejatinya, hukum pidana formil dimaksudkan tak hanya memastikan orang yang bersalah dihukum, namun juga harus melindungi orang yang tidak bersalah dari ancaman hukuman,” jelasnya.

Di sisi lain, Abdul menegaskan bahwa hukum pidana formil juga harus mampu mengoptimalkan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Menurutnya, keadilan prosedural dan keadilan substansial harus dapat diterapkan dalam setiap jenjang proses hukum. 

“Dua keadilan tersebut adalah pilar bagi kepastian hukum. Tak dapat dikatakan ada kepastian hukum, jika tidak ada keadilan prosedural dan keadilan substansial,” ucapnya.

Dengan demikian, lanjut Abdul, RUU KUHAP harus menekankan pada pelaksanaan penerapan hukum pidana secara terarah dengan parameter yang jelas dan tegas, sebab fungsi pengawasan menjadi bagian penting dalam RUU KUHAP.

Selain itu, Abdul menyatakan ada titik taut antara penyelidikan dan penyidikan dengan penuntutan, dimana pertalian tersebut tak dapat dipisahkan. 

“Dalam RUU KUHAP ini sudah ada usaha mengantisipasi adanya rekayasa dalam pemenuhan alat bukti dan dengan unsur-unsur delik yang disesuaikan. Padahal, selama ini hak-hak tersangka sangat minimalis,” imbuhnya.

Akan tetapi, pada RUU KUHAP, kini hak-hak para tersangka telah diatur dengan terperinci seperti hak mendapatkan pendampingan dari advokat sejak awal pemeriksaan, termasuk adanya rekaman pemeriksaan untuk kepentingan keterbukaan (transparansi), dan juga hak untuk mengakses berkas-berkas pemeriksaan. 

“Dengan adanya aturan demikian, maka proses penyidikan guna membuat terang perkara pidana dan pemenuhan unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan dapat dinilai sejak dini,” ungkapnya.

Menurut Abdul, peranan advokat dalam RUU KUHAP juga akan lebih aktif. Beleid tersebut kata Abdul, juga memberikan hak bagi advokat mengajukan keberatan atas penahanan tersangka yang jadi kliennya, selain melakukan permohonan praperadilan.

“Dalam RUU KUHAP ini juga diatur tentang dimungkinkannya perubahan status tersangka menjadi ‘saksi mahkota’ untuk mengungkap keterlibatan pelaku lain. Kepastian kedudukan saksi mahkota ini sangat penting dan strategis guna mengungkap delik penyertaan yang memang cukup sulit dalam pembuktiannya,” tukasnya.

Abdul menilai bahwa peranan saksi mahkota dalam mengungkap tindak pidana sangat diperlukan untuk mengungkapkan kasus perkara di pengadilan.

“Sehingga bisa ditentukan siapa yang jadi pelaku (pleger), siapa yang menyuruh (doenpleger), turut serta (medepleger), dan penganjur (uitloker) termasuk memastikan adanya kehendak dalam kesengajaan ganda (double opzet) dan permufakatan jahat (dolus premeditatus),” tuturnya. 

Lebih jauh, ia menyatakan jika selama ini ada kecenderungan tindakan penahanan sangat subjektif dan berpotensi untuk diselewengkan. Dalam RUU KUHAP baru pasal 93 Ayat (5) terdapat parameter yang jelas melihat kondisi-kondisi tertentu seperti mengabaikan panggilan penyidik sebanyak 2 (dua) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah. 

Alasan itu berupa memberikan informasi tidak sesuai fakta pada saat pemeriksaan; tidak bekerjasama dalam pemeriksaan; menghambat proses pemeriksaan; dan mempengaruhi saksi untuk tidak mengatakan kejadian sebenarnya.

“Maka RUU KUHAP ini sengaja dirancang guna memastikan bekerjanya hukum pidana materil yang berkepastian hukum, berkeadilan dan mampu menghadirkan kemanfaatan. Jadi, peranan dari hukum pada ujungnya adalah kemanfaatan bagi kepentingan hukum itu sendiri,” ujarnya. 

Selain itu, penyelesaian perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif (restorative justice) juga diatur dalam RUU KUHAP baru ini. RUU KUHAP, kata Abdul, telah mengakomodir kepentingan hukum dimaksud, utamanya bagi kepentingan hukum individu dalam hal penyelesaian perkara dengan jalan pemulihan guna perdamaian.

“Jika selama ini restorative justice hanya dilakukan saat penyidikan, kini pengaturan keadilan restoratif tak lagi diatur secara parsial dalam peraturan masing-masing lembaga penegak hukum di setiap jenjang peradilan pidana,” ungkapnya. 

Sementara itu, kehadiran penyelesaian perkara dengan adanya pemulihan tersebut menjadi dasar keberlakuan keadilan restoratif sejalan dengan prinsip ultimum remedium. Namun, penggunaan sanksi pidana seharusnya jadi ‘langkah terakhir’ (last resort).

“Dengan adanya perdamaian melalui keadilan restoratif dalam KUHAP yang baru, maka perdamaian tersebut menghilangkan kesalahan sebagai unsur subjektif. Perbuatan memang ada, namun dengan adanya perdamaian melalui keadilan restoratif, pelaku tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana,” tuturnya. (Dev/P-3) 

Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/762291/perubahan-kuhap-dinilai-harus-menjamin-parameter-pidana-secara-jelas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *