Nasional

Polemik Adat Toraja Sebaiknya Jadi Momentum Pintu Masuk Dialog Budaya

Koranriau.co.id-

Polemik Adat Toraja Sebaiknya Jadi Momentum Pintu Masuk Dialog Budaya
Ilustrasi(Instagram @pandji.pragiwaksono)

POLEMIK seputar komika Pandji Pragiwaksono yang dianggap menyinggung adat dan budaya Toraja menuai beragam tanggapan. Di tengah tuntutan sanksi adat dan amarah publik, muncul suara teduh dari akademisi berdarah Toraja Y Paonganan (Ongen), cucu Puang Dian (Mengkendek Tana Toraja).

Paonganan mengingatkan hakikat adat Toraja bukanlah untuk menghukum, melainkan untuk menyembuhkan, merangkul, serta mengajarkan kasih.

“Setahu saya, adat Toraja itu penuh kasih, tidak otoriter. Kalau Pandji benar-benar memahami adat Toraja, rasanya dia tidak akan melakukan itu. Tapi dia sudah minta maaf, dan sebagai anak Toraja, saya maafkan. Denda adat itu tidak perlu dituruti,” ujar Paonganan dalam pernyataan tertulisnya, Minggu (9/11).

Pernyataan ini sontak menjadi perbincangan pada kalangan masyarakat Toraja, terutama di tengah suasana panas pascavideo Pandji yang dianggap melecehkan tradisi Rambu Solo’.

Sebagian kelompok adat sempat mendesak agar Pandji dikenakan denda adat, suatu bentuk sanksi sosial pada sistem hukum tradisional Toraja.

Namun, bagi Paonganan, pendekatan itu bukanlah cerminan sejati dari adat lembang, sistem nilai warisan leluhur Toraja yang menjunjung tinggi kehormatan, cinta kasih, dan keseimbangan.

Paonganan menegaskan Puang Dian, dikenal sebagai sosok bijak yang mengajarkan pentingnya kasih dalam setiap tindakan adat.

“Kakek saya, Puang Dian, selalu menanamkan adat itu bukan alat untuk mempermalukan, tapi untuk memperbaiki. Kalau seseorang berbuat salah dan dia sudah meminta maaf, maka yang paling tinggi nilainya adalah memaafkan. Itu kehormatan orang Toraja yang sesungguhnya,” katanya.

Ia menilai bahwa tuntutan sanksi adat yang muncul justru berpotensi memunculkan persepsi negatif tentang adat Toraja, seolah-olah adat hanya berfungsi untuk menghukum atau mempermalukan orang lain. Padahal, kata dia, adat Toraja sebenarnya adalah refleksi nilai-nilai spiritual ketika saat dan sesamanya ditempatkan dalam hubungan saling menghormati dan mengasihi.

“Kami diajarkan menghormati tamu, memahami perbedaan, dan juga tidak menghakimi. Pandji sudah meminta maaf. Mari kita tunjukkan masyarakat Toraja lebih besar daripada sekadar reaksi emosional,” tambahnya.

Menurut Paonganan, kejadian ini harus dimanfaatkan sebagai momentum edukasi nasional sekaligus kesempatan memperkenalkan filosofi dan nilai luhur adat Toraja kepada masyarakat luas.

“Justru ini momen menyosialisasikan adat Toraja ke seluruh Indonesia. Banyak orang luar belum paham indahnya filosofi hidup orang Toraja. Jangan jadikan momen ini buat marah, tapi untuk memperkenalkan cinta,” ucapnya.

Ia mengajak para tokoh adat, akademisi, dan generasi muda Toraja agar menjadikan polemik ini sebagai pintu masuk dialog budaya, bukan justru pertentangan.

Menurutnya, masyarakat modern seringkali melihat adat hanya dari sisi ritual seperti upacara Rambu Solo’ atau Ma’nene, tanpa memahami nilai moral yang melandasinya yaitu persaudaraan, kasih, serta penghormatan terhadap kehidupan.

“Kalau hanya melihat adat dari upacara, orang hanya paham kulitnya. Namun, kalau kita tunjukkan nilai kasih dan penghormatan yang menjadi ruhnya, orang akan jatuh cinta kepada adat Toraja,” ucapnya. 

Ia menutup pernyataannya, bahwa Toraja is Love. Nilai itu tertanam dalam struktur adat dan kepercayaan masyarakat Toraja sejak masa prakolonial.

“Cinta adalah inti dari adat Toraja. Kalau kita kehilangan cinta, maka adat kehilangan maknanya,” pungkas Paonganan.(H-2)

Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/humaniora/828587/polemik-adat-toraja-sebaiknya-jadi-momentum-pintu-masuk-dialog-budaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *