Koranriau.co.id-

HAMPIE di setiap rumah, selalu ada sepatu dengan aroma khas yang sulit diabaikan. Dua peneliti asal India justru menjadikan masalah sehari-hari ini sebagai pintu masuk penelitian unik yang akhirnya mengantarkan mereka ke panggung penghargaan internasional: Ig Nobel 2025, ajang tahunan untuk riset aneh, lucu, tapi tetap kreatif.
Dari lorong asrama ke panggung dunia
Gagasan berawal ketika Sarthak Mittal, mahasiswa Universitas Shiv Nadar, menyadari lorong asramanya penuh dengan sepatu bau yang diletakkan di luar kamar. Ia sempat berpikir solusinya adalah rak sepatu yang rapi dan estetis. Namun, setelah menyelidiki lebih jauh bersama dosennya, Vikash Kumar, mereka menemukan inti masalahnya: bau menyengat membuat orang enggan menyimpan sepatu di kamar.
Mereka pun melakukan survei pada 149 mahasiswa, 80% di antaranya laki-laki. Hasilnya, lebih dari separuh merasa malu dengan bau sepatu sendiri maupun teman. Hampir semua menggunakan rak sepatu di rumah, tapi sangat sedikit yang tahu atau percaya dengan produk komersial penghilang bau. Solusi rumahan seperti kantong teh kering, baking soda, hingga semprotan deodoran terbukti tidak banyak membantu.
Sains di balik sepatu bau
Berdasarkan literatur ilmiah, penyebab utama bau busuk adalah bakteri Kytococcus sedentarius yang berkembang di sepatu lembap. Kumar dan Mittal lalu menguji penggunaan sinar UVC sebagai pembunuh bakteri. Fokus diarahkan ke bagian dalam sepatu, terutama area jari kaki, tempat bakteri paling banyak menumpuk.
Hasil eksperimen cukup mengejutkan: paparan UVC selama 2-3 menit mampu menekan bakteri dan mengurangi bau signifikan. Namun, jika paparan melebihi 6 menit, sepatu mulai mengeluarkan aroma karet terbakar. Pada durasi 10-15 menit, bau karet ini bahkan lebih menyengat dari bau aslinya. Temuan ini menegaskan pentingnya pengaturan waktu paparan.
Dari makalah sederhana ke Ig Nobel
Dengan temuan ini, mereka merancang konsep rak sepatu berlampu UVC, bukan hanya tempat penyimpanan, tetapi juga alat sterilisasi anti bau. Makalah mereka sebenarnya hanya tersimpan sejak 2022. Hingga akhirnya panitia Ig Nobel menemukan riset itu, menghubungi mereka, dan menghadiahi penghargaan atas ide yang dianggap “konyol tapi cerdas”.
Kumar mengaku mereka bahkan tidak tahu Ig Nobel itu ada. Baginya, penghargaan ini bukan sekadar validasi akademis, tetapi bentuk apresiasi atas rasa ingin tahu dan semangat eksplorasi. “Banyak riset lahir bukan karena target besar, tapi karena passion,” ujarnya.
Parade riset kocak nan brilian
Ig Nobel, yang sudah berjalan selama 34 tahun, memang rutin menghadirkan penelitian tak biasa. Tahun ini, panggung juga diramaikan ilmuwan Jepang yang mengecat sapi untuk mengusir lalat, peneliti Togo yang menemukan kadal pelangi doyan pizza empat keju, dokter anak Amerika yang membuktikan ASI beraroma bawang putih lebih menarik bagi bayi, peneliti Belanda tentang alkohol yang meningkatkan kemampuan berbahasa asing, sejarawan yang mencatat pertumbuhan kuku selama 35 tahun, hingga fisikawan yang meneliti sifat misterius saus pasta.
Bagi Kumar dan Mittal, kemenangan dalam kategori “sepatu bau” adalah motivasi untuk terus meneliti hal-hal sederhana. Mereka percaya bahwa sains tidak selalu harus serius. Justru dari penelitian yang terlihat remeh, bisa muncul gagasan yang kelak berguna lebih luas.
“Siapa tahu, persoalan sepatu bau hari ini bisa jadi batu loncatan bagi penemuan besar di masa depan,” ujar Kumar. (BBC/Z-10)
Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/humaniora/815671/rak-sepatu-anti-bau-riset-nyeleneh-peneliti-india-raih-penghargaan-ig-nobel