Koranriau.co.id-
DUA kebijakan terbaru dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah kembali memicu diskusi luas mengenai arah pendidikan dasar di Indonesia. Pertama, penghapusan tes membaca, menulis, dan berhitung (calistung) sebagai syarat masuk sekolah dasar. Kedua, penegasan kembali sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) berbasis domisili.
Kedua kebijakan itu menegaskan komitmen Kemendikdasmen terhadap prinsip inklusivitas, khususnya dalam memastikan akses pendidikan dasar bagi semua anak. Namun, fokus kebijakan yang lebih menitikberatkan pada akses tanpa diiringi langkah-langkah pendukung yang memadai, berpotensi menghasilkan sistem yang inklusif secara administratif, tetapi belum mampu menjawab ketimpangan substantif yang ada.
Oleh karena itu, keberhasilan kebijakan itu sangat bergantung pada kesiapan sistem pendidikan dalam mengatasi tantangan yang muncul, baik dari sisi kualitas layanan maupun pemerataan fasilitas pendidikan.
KEMAJUAN ATAU TANTANGAN?
Keputusan Kemendikdasmen melalui Permendikdasmen Nomor 3 Tahun 2025 yang menghapuskan tes calistung sebagai syarat masuk sekolah dasar merupakan tonggak penting dalam reformasi pendidikan dasar di Indonesia. Kebijakan itu dinilai sebagian pihak sebagai langkah progresif menuju sistem pendidikan yang lebih inklusif, ramah anak, dan selaras dengan prinsip tumbuh kembang anak usia dini.
Namun, seperti reformasi kebijakan lainnya, langkah itu tidak lepas dari pro dan kontra. Di satu sisi, penghapusan tes calistung dapat mengurangi tekanan yang tidak perlu pada anak usia dini dan membuka akses pendidikan yang lebih luas. Di sisi lain, timbul kekhawatiran mengenai kesiapan sekolah dasar dalam menangani disparitas kemampuan dasar siswa di kelas awal. Pertanyaan pun mengemuka: apakah ini benar-benar sebuah kemajuan atau justru membuka tantangan baru yang belum diantisipasi secara sistemis?
Untuk memahami implikasi kebijakan itu, penting merujuk pada pandangan para ahli perkembangan anak. Psikolog perkembangan Jean Piaget menempatkan anak usia 5-7 tahun dalam fase transisi dari tahap praoperasional menuju operasional konkret.
Pada tahap itu, kemampuan berpikir anak masih sangat bergantung pada pengalaman nyata dan konkret. Artinya, kemampuan simbolis seperti membaca dan berhitung belum sepenuhnya matang untuk dituntut secara formal. Pengenalan calistung yang dipaksakan terlalu dini justru berpotensi mengganggu proses perkembangan alami anak dan melemahkan motivasi belajar jangka panjang.
Sementara itu, teori zone of proximal development, yaitu jarak antara apa yang bisa dilakukan anak sendiri dan apa yang bisa dicapai anak dengan bantuan orang lain, yang dikembangkan Lev Vygotsky, menggarisbawahi pentingnya peran orang dewasa dalam mendampingi proses belajar anak. Menurutnya, anak-anak belajar paling efektif ketika berada dalam rentang perkembangan yang belum bisa mereka kuasai sendiri, tetapi dapat dicapai melalui bimbingan.
Dalam konteks itu, pengujian calistung sebagai syarat administratif bisa jadi tidak mencerminkan potensi sebenarnya karena anak mungkin belum mampu menyelesaikan tugas tersebut secara mandiri bukan karena tidak mampu, melainkan karena belum saatnya.
Lembaga pendidikan anak usia dini terkemuka seperti National Association for the Education of Young Children (NAEYC) juga telah lama menyerukan pembelajaran pada masa kanak-kanak awal harus bersifat menyenangkan, berbasis permainan, dan penuh eksplorasi.
Tekanan formal terhadap kemampuan membaca dan berhitung yang dikenakan terlalu dini justru dapat menimbulkan kecemasan, ketidaknyamanan, dan kehilangan minat belajar alami anak. Literasi awal sebaiknya diperkenalkan melalui pendekatan kontekstual, seperti membaca bersama, bercerita, bernyanyi, dan bermain, bukan melalui tes.
Dengan merujuk pada pandangan-pandangan tersebut, kebijakan penghapusan tes calistung sebetulnya sejalan dengan praktik pendidikan yang berbasis pada ilmu perkembangan anak. Namun, implementasi kebijakan itu tetap memerlukan perhatian serius, khususnya dalam menyiapkan guru kelas awal dan kurikulum transisi yang adaptif. Jika tidak dirancang dengan matang, justru akan muncul beban baru di ruang kelas: ketimpangan kemampuan dasar yang tajam, yang pada akhirnya tetap membebani anak dan guru.
Oleh karena itu, menyambut kebijakan itu dengan semangat positif perlu diimbangi dengan perencanaan teknis yang kuat, pelatihan guru yang komprehensif, serta komunikasi yang jelas kepada publik. Tanpa itu semua, kebijakan yang sejatinya bertujuan melindungi anak bisa berubah menjadi tantangan yang membingungkan banyak pihak.
Implikasi kebijakan itu tidak berdiri sendiri. Ia berkaitan erat dengan sistem seleksi PPDB, yang selama ini secara diam-diam masih menggunakan calistung sebagai acuan kesiapan akademik. Meski secara regulatif PPDB telah melarang seleksi berbasis tes calistung, praktik informal yang mengaitkan kesiapan akademik awal dengan proses seleksi menunjukkan tantangan utama justru terletak pada level implementasi di lapangan.
Anak-anak yang tidak memiliki akses pendidikan prasekolah formal berisiko tersisih bukan karena ketidakmampuan, melainkan karena sistem belum sepenuhnya menjamin kesetaraan. Oleh karena itu, keberhasilan kebijakan itu tidak hanya bergantung pada pencabutan aturan tes, tetapi juga pada kemampuan negara memastikan bahwa setiap anak, apa pun latar belakangnya, memiliki peluang yang sama untuk mengakses pendidikan dasar secara bermartabat dan tanpa hambatan tersembunyi.
SOLUSI ATAU MASALAH BARU?
Perubahan kebijakan penerimaan peserta didik baru (PPDB) dari sistem zonasi menuju jalur domisili menjadi perhatian luas di berbagai kalangan sepanjang tahun lalu. Sistem zonasi awalnya diperkenalkan sebagai upaya untuk mewujudkan keadilan dalam distribusi akses pendidikan, serta mengurangi konsentrasi siswa unggul di sekolah favorit.
Namun, kenyataannya, ketimpangan mutu antarwilayah tetap tajam dan berbagai kendala teknis muncul, mulai manipulasi dokumen alamat hingga celah dalam mekanisme pengawasan yang menyebabkan ketidakadilan dalam proses seleksi.
Berbagai laporan mengungkap praktik pemalsuan alamat domisili oleh orangtua, yang berupaya memasukkan anak mereka sekolah favorit yang sebenarnya berada jauh dari tempat tinggal mereka. Kasus pengungkapan kartu keluarga fiktif dalam PPDB zonasi mengejutkan publik dan mengundang kritik keras terhadap lemahnya pengawasan sistem.
Fenomena itu terjadi di banyak wilayah, menegaskan bahwa manipulasi data alamat bukan hanya persoalan teknis, melainkan juga cerminan ketimpangan peluang antarwilayah yang mendorong praktik tersebut.
Sebagai respons atas krisis keadilan dalam distribusi pendidikan tersebut, Kemendikdasmen menggeser pendekatan dari zonasi longgar menuju verifikasi domisili yang lebih ketat dan transparan.
Jalur domisili berupaya memastikan bahwa calon siswa diterima berdasarkan alamat tempat tinggal yang valid, diverifikasi melalui sistem terintegrasi berbasis data kependudukan dan teknologi geolokasi. Contohnya, sistem manajemen sekolah kini terkoneksi langsung dengan data dinas kependudukan sehingga mempersulit manipulasi dokumen dan meningkatkan akuntabilitas proses seleksi.
Selain itu, Kemendikdasmen mendorong transparansi proses PPDB dengan membuka akses publik untuk memantau hasil seleksi secara daring dan menyediakan mekanisme pengaduan yang mudah dijangkau. Situs resmi PPDB memuat peta zonasi dan daftar nama peserta yang diterima lengkap dengan nilai dan domisili sehingga masyarakat dapat secara terbuka memeriksa keabsahan proses seleksi.
Meski jalur domisili memiliki potensi memperbaiki sistem penerimaan peserta didik, tantangan utama tetap berada pada disparitas kualitas sekolah antarwilayah. Banyak sekolah favorit memiliki fasilitas dan sumber daya yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan sekolah di daerah pinggiran dan perdesaan.
Kondisi itu mendorong orangtua mencari ‘jalur pintas’ untuk mendapatkan akses ke sekolah berkualitas. Oleh karena itu, kebijakan jalur domisili perlu diiringi dengan program peningkatan mutu sekolah di seluruh wilayah agar pemerataan pendidikan tidak sekadar jargon, melainkan terealisasi secara nyata.
Dengan demikian, perubahan kebijakan PPDB dari zonasi ke domisili yang lebih transparan dan terverifikasi merupakan langkah maju untuk mewujudkan keadilan akses pendidikan. Namun, keberhasilan kebijakan itu tidak cukup hanya diukur dari sisi administratif.
Ketimpangan kualitas pendidikan antarwilayah tetap menjadi persoalan mendasar yang belum tersentuh secara substansial. Sistem penerimaan yang adil harus berjalan beriringan dengan perbaikan mutu pembelajaran di seluruh satuan pendidikan. Tanpa peningkatan kualitas sekolah secara merata, keadilan akses justru dapat memperkuat ketimpangan hasil belajar.
Sebagai refleksi akhir, penghapusan tes calistung dan penegasan jalur domisili dalam PPDB mencerminkan upaya penting untuk memperkuat prinsip inklusivitas dan keadilan dalam akses pendidikan dasar di Indonesia. Kebijakan itu diharapkan dapat menghilangkan hambatan administratif yang selama ini membatasi anak-anak dari latar belakang sosial-ekonomi kurang beruntung agar dapat memperoleh akses pendidikan yang lebih merata dan adil.
Namun, kebijakan tersebut tidak dapat berdiri sendiri tanpa dukungan sistem pendidikan yang kuat dan mampu mengatasi ketimpangan kualitas antarwilayah serta disparitas sarana dan prasarana pendidikan. Berbagai laporan dan studi menunjukkan masih terdapat kesenjangan signifikan antara sekolah di wilayah perkotaan dan perdesaan, khususnya dalam hal fasilitas, kualitas guru, dan sumber belajar. Ketimpangan ini berpotensi menyebabkan perbedaan hasil belajar meskipun akses ke sekolah sudah terbuka.
Menurut prinsip inklusivitas yang ditekankan UNESCO (2017), pendidikan yang inklusif tidak hanya berarti memperluas akses, tetapi juga memastikan kualitas pendidikan yang setara dan bermutu bagi seluruh peserta didik tanpa terkecuali.
Oleh sebab itu, keberhasilan penghapusan tes calistung dan penegasan jalur domisili sangat bergantung pada keberlangsungan sinergi antara perluasan akses dan peningkatan mutu pembelajaran secara merata di seluruh daerah.
Langkah-langkah strategis yang holistis dan berkelanjutan sangat diperlukan agar inklusivitas tidak hanya tercapai secara administratif, tetapi juga memberikan dampak positif substantif pada pengalaman belajar setiap anak. Dengan demikian, fondasi pendidikan dasar di Indonesia dapat semakin kuat dalam menjawab tantangan kesenjangan pendidikan serta memastikan pemerataan kualitas yang mendukung pembangunan sumber daya manusia yang berkeadilan.
Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/opini/777756/refleksi-kebijakan-pendidikan-dasar-penghapusan-calistung-dan-implementasi-jalur-domisili-di-ppdb