Koranriau.co.id-
AWAL Oktober kemarin, saya berkesempatan hadir menjadi salah satu pembicara pada ajang the 4th PCINU Belanda’s Biennial International Conference di University of Groningen, Belanda. Konferensi ini digelar pada 1-2 Oktober 2025 oleh PCINU Belanda bekerja sama dengan Wubbo Ockels Schools for Energy and Climate, dan dirangkaikan dengan beberapa agenda. Antara lain, diskusi dan peluncuran buku Travelling Home: Essays on Islam in Europe, PCINU Summit, serta pengajian akbar di Masjid Al-Hikmah Den Haag.
Kedatangan saya ke Eropa bukan kali pertama. Untuk ke Belanda, saya sudah ketiga kalinya dengan tujuan kegiatan yang berbeda-beda. Tentu, kesempatan hadir di Benua Eropa dimanfaatkan untuk silaturahim ke beberapa kolega. Kunjungan utama saya ke Belanda kemarin, saya manfaatkan untuk melakukan rihlah akademik ke beberapa negara, di antaranya Jerman dan Italia.
Ada hal yang menarik ketika melihat tempat ibadah di negara-negara dengan populasi Muslim minoritas. Bagi seorang Muslim, ketika menyebut tempat ibadah, tentu yang terpikir ialah masjid. Di setiap persinggahan beberapa kota di negara Jerman, Belanda, maupun Italia, saya selalu menyempatkan untuk mencari masjid terdekat. Sudah barang tentu, masjid-masjid di negara dengan populasi Muslim minoritas tidak sama dengan kondisi masjid di Indonesia. Sebagai sebuah tamsil, di Dorthmund, Jerman, misalnya, saya mengikuti salat Jumat yang digelar di sebuah ruko sederhana. Desainnya netral. Tidak terlihat seperti bangunan masjid. Begitu juga di Dusseldorf, Jerman, bangunan masjid tampak berada di belakang unit hunian apartemen.
RUMAH IBADAH DAN TANTANGAN KEBERAGAMAN
Tantangan dan kesulitan dalam pembangunan masjid di negara dengan populasi Muslim minoritas seperti di Eropa dan Australia menjadi persoalan tersendiri. Tantangan tersebut di antaranya berkaitan masalah izin pendirian dan penolakan dari penduduk lokal, yang salah satunya dipicu oleh kuatnya islamofobia dan kecemasan budaya, berkaitan dengan isu gelombang imigrasi. Pelbagai sentimen tersebut menggelinding begitu cepat dengan kekuatan framing media.
Sentimen rasial tampaknya masih menjadi sumbu bagi erupsi tindakan perlawanan dengan memonopoli kebenaran. Rasisme kecemasan budaya untuk memberangus para imigran yang dianggap sebagai penjajah (invaders) juga masih melekat kuat. Kecemasan akan meningkatnya imigran Muslim di Barat, yang kemudian dianggap dapat menguasasi ekonomi dan politik serta budaya, menjadi salah satu penyebab penolakan. Dampaknya, keberadaan komunitas Muslim dianggap sebagai ‘musuh’ yang dapat menjadi oposisi kehidupan kulit putih.
Harus diakui, persoalan keagamaan memang kerap kali menjadi problem akut yang sulit untuk diurai tapi menarik untuk dikaji. Sebagaimana diungkap sosiolog Emile Durkheim, di balik lapisan teologis dari suatu agama, tersimpan lapisan sosiologis yang dapat diungkap.
Menariknya, ruang-ruang ibadah di Eropa kian meningkat secara kuantitas, baik itu yang secara resmi berbentuk masjid maupun ruko-ruko hunian yang dijadikan pusat dakwah dan pendidikan. Secara angka pasti, agak sulit ditemukan presisi jumlah masjid di negera-negara Eropa, misalnya di Jerman dengan penduduk Muslim kisaran 6 juta.
Namun, geliat dan simbol kemajuan koeksistensi terlihat misalnya di Cologne, Jerman. Saya berkesempatan hadir ke Cologne, di situ ada masjid megah yang dikenal dengan Masjid Agung Cologne. Arsitektur masjid ini digarap oleh Gottfried Bohm dan anaknya, Paul Bohm. Kedua nama ini dikenal sebagai arsitektur yang kerap kali menggarap bangunan gereja.
Begitu juga di Belanda. Saya berkesempatan hadir ke Masjid Al-Hikmah Den Haag. Menariknya, masjid ini menggunakan bangunan bekas gereja yang diinisiasi oleh umat Muslim Indonesia di Belanda. Kegiatan di masjid ini menggeliat, mulai dari pengajian dan semarak kegiatan keagamaan lainnya. Kegiatan serupa juga dapat dijumpai di Masjid Al-Ikhlas Amsterdam, Belanda.
Masjid-masjid yang disebutkan di atas benar-benar berfungsi sebagai laboratorium sosial keagamaan. Di tengah tantangan geliat Islam di Eropa, ruang masjid berfungsi lebih dari sekadar tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat kegiatan dan pembinaan keagamaan yang menyimulasikan kehidupan sosial dan keagamaan secara nyata.
Masjid-masjid di Belanda maupun di Jerman, sebagaimana yang tergambar di atas, menjadi oase sejuk sebagai ruang berkumpul menguatkan tali spirtualitas, sekaligus sebagai pemantik penguatan solidaritas global. Solidaritas itu mengikat tali kebersamaan yang menjadi penanda khusus dalam laku gotong royong sosial.
Dalam kajian sosiologi dikenal dengan istilah ‘solidaritas mekanik’. Masyarakat bertemu dalam tali-temali kebersamaan dan bertindak atas dasar kesadaran bersama (collective consciousness) untuk menjaga identitas keagamaan seraya bergerak secara dinamis. Tidak hanya itu, non-Muslim pun kerap kali berbaur untuk turut menyuarakan solidaritas dukungan keberagamaan sebagai seruan moral atas satu tragedi kemanusiaan. Rumah ibadah kemudian menjadi simbol kekuatan keberagamaan sebagai bagian dari perwujudan solidaritas sosial tanpa diatur oleh keyakinan agama masing-masing.
Hal itu saya saksikan sendiri saat masih studi di Canberra, Australia. Tragedi penembakan dalam bentuk serangan brutal yang terjadi di dua masjid, yaitu Masjid Linwood dan Masjid Al-Noor, Christchurch, Selandia Baru, pada Jumat, 15 Maret 2019, kemudian memunculkan gerakan solidaritas kemanusiaan dari semua kalangan, lintas komunitas, dan pelbagai kelompok masyarakat. Pelbagai gerakan simpati lahir dari kalangan lintas agama melalui seruan moral, karangan bunga sebagai belasungkawa dan bentuk dukungan, serta wujud solidaritas lainnya. Wujud solidaritas seperti demikian juga saya rasakan sendiri selama berada di Eropa.
RUMAH IBADAH, NATAL, DAN KEMANUSIAAN
Realitas tersebut mengingatkan kita semua tentang aksi Riyanto, seorang anggota Banser Nahdlatul Ulama (NU) yang gugur pada malam Natal, 24 Desember 2000. Riyanto menjadi simbol keberanian dan cinta kasih ketika ia melindungi umat Kristiani yang sedang beribadah dari ancaman bom di Gereja Eben Haezer, Mojokerto, Jawa Timur.
Solidaritas Riyanto menjadi teladan toleransi. Ia tampil di malam Natal untuk melindungi satu sama lain atas dasar kemanusiaan, meskipun beda keyakinan. Kisah itu semakin meneguhkan tentang pelajaran penting toleransi keberagamaan yang dapat ditemukan dalam simpul-simpul rumah ibadah. Riyanto menjadi simbol teladan kemanusiaan. Upaya yang kuat dengan tekad yang kokoh mengantarkan Riyanto untuk melindungi umat Kristiani yang sedang beribadah dari ancaman bom di rumah ibadah Eben Haezer.
Sekali lagi, rumah ibadah menjadi simbol dan perekat luhur keberanian, perjuangan, toleransi, dan kemanusiaan. Semangat kemanusiaan tegak dengan kokoh untuk terus diperjuangkan walaupun harus menghilangkan nyawa. Tidak peduli satu agama, satu kepercayaan, atau satu suku, yang paling penting ialah semangat kemanusiaan dan persaudaraan antarumat beragama.
Pada titik inilah rumah ibadah berfungsi sebagai pengikat tali solidaritas kemanusiaan. Apa yang menjadi semangat seorang Riyanto menegaskan komitmen pentingnya menjaga harmoni beragama, bernegara, dan kemanusiaan serta kehadiran setiap kita untuk menjadi pelindung bagi siapa pun yang terancam.
RUMAH IBADAH DAN PENGUATAN IDENTITAS KEAGAMAAN
Rumah ibadah sejatinya juga berfungsi sebagai pusat kegiatan sosial, pendidikan, dan keagamaan. Dalam sejarah Islam klasik, masjid berfungsi sebagai tempat pengembangan dan pelestarian budaya Islam. Dalam catatan sejarah, selain berfungsi untuk tempat ibadah, masjid juga difungsikan sebagai pusat pemerintahan dan politik, pusat dakwah dan pendidikan, dan tempat bermusyawarah untuk distribusi kesejahteraan sosial. Bahkan, pelbagai strategi perang dan penyusunan perencanaan serta koordinasi pemerintahan berlangsung di masjid. Masjid juga berfungsi sebagai tempat pengelolaan keuangan umat (baitul maal).
Pertanyaannya, bagaimana fungsi masjid saat ini di negara dengan penduduk Muslim mayoritas seperti Indonesia? Tidak jarang ditemukan masjid di Indonesia yang fungsinya sebatas tempat ibadah. Hal ini disebabkan oleh minimnya manajemen dan administrasi pengelolaan masjid. Yang tidak dapat dihindari, justru berkaitan dengan persoalan klasik seperti kondisi fisik yang tidak terawat, kamar mandi kotor, dan problematika akut lainnya. Kondisi ini memengaruhi fungsi sosial masjid yang menyempit, dan tidak lagi berfungsi secara holistik sebagai sarana penguatan identitas keagamaan pada satu sisi, dan pada sisi yang lain berkaitan dengan minimnya fungsi kesejahteraan sosial.
Jika dilihat dari sisi fungsi masjid sebagai ruang syiar keagamaan maka hal ini memiliki signifikansi yang cukup kuat. Narasi keagamaan melalui agitasi di mimbar masjid dapat memengaruhi cara pandang keagamaan seseorang. Karena itu, fungsi masjid harus benar-benar diwujudkan untuk menyemai pesan dakwah, pendidikan, dan ruang tumbuhnya solidaritas dalam menjalin kerja sama sosial, ekonomi, budaya, dan tradisi keagamaan lainnya.
Satu hal yang perlu diwujudkan dalam bentuk ikhtiar kolektif ialah melakukan transformasi kelembagaan rumah ibadah yang dibarengi dengan manajemen administrasi tata kelola yang profesional. Penguatan ini akan mengantarkan fungsi rumah ibadah pada fungsi yang sesungguhnya, termasuk juga dapat mewujudkan rumah ibadah yang berdaya-berdampak.
RUMAH IBADAH: BERDAYA-BERDAMPAK
Kementerian Agama memiliki program yang dikenal dengan Madada atau Masjid Berdaya dan Berdampak. Program ini bertujuan agar masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga menjadi pusat pemberdayaan umat. Pemberdayaan dan optimalisasi masjid diwujudkan dengan pelbagai kegiatan, misalnya potensi filantropi Islam yang kemudian berdampak bagi kesejahteraan jemaah. Yang lebih bagus juga, masjid diberdayakan dengan optimalisasi teknologi dengan memperluas jangkauan dakwah.
Konsep dan program ini perlu diperluas di seluruh masjid di Indonesia. Diakui, satu masjid dengan masjid lainnya memiliki tantangan yang berbeda-beda. Namun, modal yang dimiliki tentu lebih kuat daripada tantangan yang ada. Tidak seperti masjid-masjid yang berada di negara dengan populasi Muslim minoritas yang masih menghadapi berbagai persoalan seperti islamofobia, kesulitan mendapatkan izin, dan tantangan lainnya. Masjid-masjid di Indonesia dengan keluasan untuk melakukan transformasi, selain menopang fungsi utamanya sebagai tempat ibadah, juga diharapkan menjadi ruang laboratorium sosial keagamaan yang berdaya dan berdampak untuk kesejahteraan masyarakat.
Begitu juga rumah ibadah yang lain. Tidak hanya berfungsi sebagai tempat ritual keagamaan, tetapi juga menjadi pusat pendidikan karakter, tempat pembinaan umat, sarana dakwah, wadah musyawarah, hingga fungsi sosial dan budaya lainnya yang dapat menjadi simbol harmoni di tengah keberagaman bangsa Indonesia. Semoga.
Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/opini/844256/rumah-ibadah-natal-dan-laboratorium-keberagamaan




