Koranriau.co.id-

KEPALA Biro Hukum Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Wahyudi Putra mengungkapkan revisi ketiga atas UU No 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) akan berfokus pada sejumlah hal.
Pertama, revisi ini bertujuan memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan tata kelola sektor pekerja migran. Selama ini, prioritas kebijakan dan program seringkali terpecah, sehingga menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan kebijakan.
“Dengan revisi ini, pemerintah berharap dapat menciptakan kesinambungan program dari hulu ke hilir,” ujarnya dalam diskusi publik RUU Pekerja Migran Indonesia di Gedung PP Muhammadiyah, Jakarta, Jumat (11/7).
Fokus kedua yaitu pentingnya interoperabilitas antara pemerintah daerah dan pusat juga menjadi perhatian utama. Wahyudi menekankan mayoritas calon pekerja migran berasal dari daerah, sehingga diperlukan sistem yang terintegrasi agar kebijakan dan pelayanan dapat berjalan seragam di semua tingkatan pemerintahan.
Ketiga, pemerintah mencari solusi untuk menekan angka keberangkatan pekerja migran non-prosedural atau ilegal. Hingga kini, belum ada sistem pendataan yang komprehensif terhadap pekerja migran yang berangkat secara tidak resmi.
“Kelemahan kita itu tidak ada pendataan secara khusus pekerja migran Indonesia non-prosedural ini,” ucapnya.
Dalam proses penyusunan revisi ini, pemerintah telah membentuk tim lintas kementerian, yang terdiri dari enam kementerian/lembaga, termasuk BP2MI. Tim ini telah merangkum 29 poin usulan perubahan, mulai dari penyesuaian konsideran, redefinisi kategori pekerja migran, penguatan hak dan kewajiban, hingga mekanisme penempatan dan pengawasan. Seluruh substansi tersebut akan dibahas lebih lanjut bersama DPR dalam waktu dekat.
Jalur ilegal
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan Fithriatus Shalihah menyoroti persoalan mendasar dalam ketenagakerjaan Indonesia saat ini, yakni ketidakseimbangan antara jumlah angkatan kerja yang tersedia dengan ketersediaan lapangan pekerjaan di Tanah Air. Akibatnya, sebagian masyarakat merasa terdorong untuk mencari pekerjaan di luar negeri.
Lima negara yang menjadi tujuan utama PMI yaitu Taiwan, Malaysia, Hong Kong, Singapura, dan Italia. Total PMI di Malaysia pada 2024 mencapai 72.260 orang dengan sebagian besar secara tidak prosedur. Hal ini terjadi karena adanya standar rekrutmen yang lebih longgar.
“Sebagian besar PMI di Malaysia itu ilegal. Mereka tidak harus melewati tes sertifikasi keterampilan, tidak harus melewati tes berbahasa asing,” tuturnya.
Secara keseluruhan, jumlah PMI prosedural di tahun 2024 tercatat sebanyak 5,2 juta orang. Sementara yang tidak prosedural mencapai 3,8 juta orang. Angka ini belum termasuk mereka yang berangkat melalui jalur tidak resmi. Termasuk pelabuhan tikus, seperti desa-desa yang terbiasa mengirim tenaga kerja ke negara tetangga tanpa dokumen resmi.
Fithriatus kemudian mencatat pada periode 2020 hingga 2023, jumlah pengaduan dari PMI terus meningkat, khususnya dari negara-negara penempatan seperti Arab Saudi, Malaysia, Hong Kong, Uni Emirat Arab, dan Taiwan. Aduan ini paling banyak berasal dari daerah asal pekerja seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan DKI Jakarta.
Salah satu masalah yang dihadapi PMI ialah praktik overcharging atau penarikan biaya penempatan secara berlebihan oleh agen, yang dilakukan secara sistematis dan melibatkan berbagai pihak seperti perusahaan penempatan pekerja migran (P3MI), mitra usaha, dan pemberi kerja. Meskipun Undang-Undang melarang praktik ini, realitanya pelanggaran tetap terjadi dan sangat merugikan PMI.
Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah Trsino Raharjo menyinggung persoalan serius terkait kondisi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di sektor kelautan. Katanya, banyak warga negara Indonesia yang dipekerjakan di kapal penangkap ikan, namun mengalami perlakuan tidak manusiawi.
Salah satu masalah yang mencuat adalah tidak adanya waktu istirahat yang layak bagi para pekerja tersebut. Kondisi ini menunjukkan adanya pelanggaran terhadap hak-hak dasar tenaga kerja. “Ini perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, termasuk negara,” imbuhnya.
Pengembangan informasi
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Bob Hasan menegaskan UU No 18/2017 belum memberikan perlindungan hukum, ekonomi, dan sosial secara menyeluruh kepada PMI dan keluarganya, baik sebelum keberangkatan, selama bekerja, maupun setelah kembali ke Tanah Air.
Dia menyoroti sejumlah tantangan serius PMI yang masih dihadapi, yakni tingginya kerentanan mereka terhadap praktik perdagangan manusia, perbudakan modern, kerja paksa, kekerasan, dan perlakuan sewenang-wenang yang merendahkan martabat serta melanggar hak asasi manusia.
“Melalui RUU Perlindungan Pekerja Migran yang sedang disusun, kami berupaya memperkuat sistem perlindungan tersebut,” terang Politikus Partai Gerindra itu.
Salah satu poin penting dalam RUU tersebut adalah pengembangan sistem informasi yang terpadu dan terintegrasi dengan berbagai layanan pemerintah. Sistem ini akan memudahkan proses pencatatan, penyederhanaan prosedur, serta mempercepat respons perlindungan.
Pihaknya mengaku akan merumuskan pasal yang memungkinkan deteksi digital terhadap asal-usul tenaga kerja migran. Mulai dari desa asal, siapa yang memberangkatkan, negara tujuan, hingga jenis pekerjaan yang akan dilakukan.
“Semua informasi itu harus tercatat dan terpantau melalui sistem teknologi informasi,” jelas Bob. (Ins/E-1)
Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/ekonomi/790775/ruu-pekerja-migran-fokus-pada-kepastian-hukum-dan-interoperabilitas