Koranriau.co.id-

KALAU saja tendangan penalti Anjas Asmara menembus gawang Korea Utara, pasti sejarah sepak bola Indonesia akan bercerita lain. Kesuksesan menembus Olimpiade Montreal 1976 akan membangun kepercayaan diri anak-anak Indonesia untuk meraih prestasi lebih tinggi lagi.
Pelatih asal Belanda Wiel Coerver berhasil memoles kemampuan sepak bola anak-anak Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa Asia yang lain. Coerver memang dijuluki ‘Albert Einstein sepak bola’ karena ketajaman dalam melihat bakat pemain dan tekun untuk membimbing pemain mengeluarkan kemampuan terbaik yang mereka miliki.
Oleh karena Anjas gagal menjadi algojo, harapan Korea Utara kembali terbuka, dan akhirnya mereka yang memenangi tiket ke Montreal setelah menang 5-4 atas tim ‘Garuda’.
L’histoire se repete, sejarah (pahit) itu berulang. Kali ini mimpi untuk bisa tampil di Piala Dunia 2026 terancam kandas. Kekalahan 2-3 dari Arab Saudi di pertandingan pertama babak keempat penyisihan Piala Dunia Grup Asia membuat harapan itu meredup.
Dua tendangan penalti Kevin Diks tidak cukup untuk menyelamatkan skuad ‘Garuda’ dari kekalahan. Tim ‘Elang’ Arab Saudi membalas kekalahan yang pernah dialami di babak ketiga melalui dua gol Waheb Saleh dan satu gol tendangan penalti dari kaki Feras Albrikan.
Sabtu malam atau Minggu dini hari nanti akan menjadi penentu nasib tim asuhan Patrick Kluivert. Hanya kemenangan atas Irak yang akan bisa menghidupkan peluang Jay Idzes dan kawan-kawan untuk bisa lolos ke putaran final Piala Dunia tahun depan.
TIDAK MUDAH
Namun, pertandingan malam nanti bukanlah pertandingan yang mudah. Pertama, karena ada beban harus menang yang dipikul para pemain ‘Garuda’. Tekanan ini bisa membuat para pemain tegang dan tak bisa bermain lepas.
Kedua, Irak yang harus dihadapi dalam kondisi fisik yang lebih bugar karena mereka baru memainkan pertandingan pertama. Seluruh pemain Irak tidak ada yang cedera dan tenaga mereka masih seratus persen.
Ketiga, Irak merupakan negara yang memiliki tradisi sepak bola kuat. Pada zaman negara mereka dibombardir Amerika Serikat karena dianggap memiliki senjata pemusnah massal pun, tim Irak masih mampu menjadi juara Piala Asia 2007 di Jakarta.
Keempat para pemain Irak turun ke lapangan dengan semangat bahwa mereka merupakan bangsa yang tangguh dan masih ada. Sepak bola menjadi ajang pembuktian bahwa negara mereka masih besar dan hebat.
Kelima, kesebelasan Indonesia tidak pernah bisa menang saat melawan Irak. Selain karena teknik bolanya yang tinggi seperti umumnya negara-negara Arab, mereka memiliki fisik yang kuat.
Itulah yang membuat Irak sulit untuk dikalahkan. Dibutuhkan tekad yang luar biasa dari para pemain Indonesia apabila ingin mengalahkan mereka. Ibaratnya, Kluivert harus mampu membakar semangat para pemain agar bisa tampil dua kali lebih baik daripada saat melawan Arab Saudi.
Bahkan tekad itu harus ditopang oleh taktik dan strategi yang tepat. Apabila Jay Idzes dan kawan-kawan sekadar bernafsu untuk menang, itu akan menjadi awal dari kekalahan.
Kalau tim ‘Garuda’ memilih untuk bermain terbuka, itu justru akan menjadi awal malapetaka. Para pemain Irak akan memanfaatkan celah yang terbuka dengan memanfaatkan kecepatan yang mereka miliki.
Mereka ibaratnya hanya perlu mencuri gol saat pemain ‘Garuda’ lengah. Kalau bisa menjebol gawang Marteen Paes terlebih dulu, akan mudah bagi skuad Irak mencetak lebih banyak gol ke gawang Indonesia.
TIDAK ADA ALASAN
Di kolom ini berulang kali saya sampaikan agar kesempatan emas ini dimanfaatkan sebaik mungkin. Belum tentu kesempatan seperti ini datang dua kali. Seperti di arena Pra-Olimpiade 1976, kita tinggal selangkah lagi untuk bisa mencapai putaran final Piala Dunia 2026.
Saya ulangi ucapan yang pernah disampaikan Ketua Umum KONI Pusat Wismoyo Arismunandar. Lebih baik kita bersimbah darah saat latihan daripada menangis sesudah pertandingan.
Semua pihak harus mau berkorban untuk mencapai cita-cita besar itu. Semua harus mau meluangkan waktu untuk berlatih bersama dan lebih tekun demi tercapainya hasil paling maksimal.
Executive Committee PSSI malah sesumbar bahwa dengan kualitas pemain nasional Indonesia sekarang ini tidak perlu lagi ada latihan bersama. Mereka dapat langsung bermain dan langsung bisa cocok karena sudah mengerti apa yang harus dilakukan untuk memenangi pertandingan.
Baru setelah kalah dari Arab Saudi, Kluivert mengeluhkan tidak cukupnya waktu dari para pemain untuk bisa berlatih bersama. Bahkan ada pemain yang baru satu hari sebelum pertandingan tiba di Jeddah.
Pikir dulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna. Sepak bola bukan sekadar permainan teknik. Karena sebelas pemain harus menjadi satu jiwa, dibutuhkan adanya ikatan batin yang kuat. Berkumpul bersama sebelum pertandingan merupakan prasyarat yang harus dipenuhi. Pemain sekelas Lionel Messi sekalipun tidak bisa datang tiba-tiba dan bertanding untuk kesebelasan Argentina.
Persoalan terbesar banyak pembina sepak bola tidak mengenal cabang olahraga yang dipimpinnya. Akibatnya pendekatan yang dipakai selalu transaksional. Semua seakan bisa diselesaikan dengan uang.
Padahal sepak bola berkaitan dengan jiwa, terikat dengan batin, membutuhkan semangat, memerlukan keberanian, harus didukung dengan kemauan yang kuat. Meritokrasi harus menjadi sikap dalam membangun tim sehingga semua tidak bisa mendekat saat seseorang ditunjuk sebagai pemain starter maupun harus duduk di bangku cadangan.
Pelatih menjadi orang yang paling bertanggung jawab dalam menentukan keberhasilan tim. Ia diberi kewenangan penuh untuk menentukan pemain, menetapkan strategi permainan, dan merumuskan taktik demi memenangi pertandingan.
Semua harus berani untuk menerima kenyataan apa pun hasil akhir dari sebuah pertandingan. Tidak boleh lagi mencari kambing hitam, semua harus menyadari bahwa hasil pertandingan merupakan buah dari proses latihan, hasil dari persiapan.
Tim terbaik adalah tim yang memenangi pertandingan karena mereka yang paling keras dalam mempersiapkan diri menuju pertandingan.
Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/sepak-bola/819646/sejarah-pahit-kembali-terulang