Koranriau.co.id-

KOORDINATOR Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonensia (JPPI), Ubaid Matraji menyoroti rencana pemerintah Presiden membangun sekolah unggulan dan sekolah rakyat. Menurutnya, gagasan ini sangat melenceng jauh dari komitmen melanjutkan kebijakan pendidikan di era Presiden Jokowi.
“Pada periode lalu, sekolah di Indonesia dirancang menjadi lembaga yang inklusif, siapapun boleh masuk mau kaya atau miskin, berprestasi atau tidak, bahkan ada quota afirmasi untuk disabilitas. Meski dalam pelaksanaannya, ternyata ada banyak masalah karena problem daya tampung yang kurang, dan mutu yang belum merata. Problem ketimpangan ini yang mestinya diselesaikan oleh Presiden Prabowo, jika memang berkomitmen untuk melanjutkan,” ungkapnya kepada Media Indonesia, Kamis (16/1).
Menurutnya, dengan adanya sekolah unggulan dan sekolah rakyat ini, maka sekolah menjadi institusi yang eksklusif dan hanya bisa dihuni oleh anak-anak berdasarkan kasta atau kelas social-ekonomi tertentu.
Jika hal ini dilakukan, maka ini mirip dengan kebijakan pendidikan di era kolonial di mana terdapat sekolah khusus anak keturunan penjajah, sekolah khusus pribumi, sekolah untuk para ningrat, dan sekolah untuk rakyat.
“Kita ini sudah merdeka, mengapa sistem kasta dan segragasi era kolonial, kita praktikkan dan tanamkan kembali di sekolah-sekolah, gak bahaya ta? Kita sudah punya pasal 31 UUD 1945 yang menyetarakan hak semua anak Indonesia, tapi mengapa perintah punya ide untuk memberikan layanan yang diskriminatif berdasarkan kasta dan prestasi?,” tegas Ubaid.
Ubaid merasa bahwa sekolah unggulan berpotensi melanggar konstitusi. Pasalnya, sekolah ini bisa jadi akan bernasib sama dengan yang dialami RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional). Apalagi, guru-gurunya juga akan diimpor dari luar negeri.
“Sekolah unggulan model ini dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2013. Saat itu, MK menyatakan bahwa RSBI bertentangan dengan semangat mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dalam UUD 1945, bahwa layanan pendidikan itu harus berkeadilan dan dapat diakses untuk semua anak, bukan untuk kalangan dengan ekonomi tertentu saja. Sebab, sekolah unggulan ini biasanya akan dihuni oleh mayoritas anak-anak dari kalangan menengah ke atas. Karena, merekalah yang punya akses lebih pada sumber-sumber belajar,” jelasnya.
Kualitas pendidikan
Ubaid juga menekankan bahwa kebijakan ini hanya akan memperparah kesenjangan kualitas pendidikan di Indonesia. Data Pisa 2022 menunjukkan bahwa kualitas pendidikan Indonesia masih rendah.
Salah satunya dipicu oleh tingginya kesenjangan mutu antarsekolah di berbagai daerah. Jika ini tidak diatasi segera, maka ketimpangan ini akan menjadi momok dan kutukan mutu pendidikan Indoneisa yang hanya jalan di tempat, bahkan ada kecenderungan terjadi penurunan.
Selain itu, sistem sekolah yang memisahkan anak-anak berdasarkan status sosial dapat memperkuat ketimpangan kelas atau kasta di masyarakat. Anak-anak dari keluarga miskin akan terus terperangkap dalam siklus ketidaksetaraan, sementara anak-anak dari keluarga lebih mampu mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari sekolah unggulan. Ini dapat memperburuk ketimpangan sosial yang sudah ada dan sulit diatasi.
“Layanan pendidikan itu ya harusnya bersifat inklusif, jangan malah diskriminatif. Dengan memisahkan siswa berdasarkan latar belakang sosial-ekonomi, diskriminasi dalam layanan pendidikan dapat terjadi. Anak-anak dari keluarga miskin mungkin tidak mendapatkan layanan pendidikan yang setara dengan anak-anak dari keluarga kaya. Ini akan mengakibatkan perbedaan dalam kualitas pendidikan yang diterima dan peluang masa depan yang berbeda bagi masing-masing kelompok,” ujar Ubaid.
“Dengan sistem yang saat ini berjalan, ada model sekolah dan model madrasah, ini saja banyak layanan Pendidikan yang dibeda-bedakan, baik untuk peserta didiknya maupun guru-gurunya. Apalagi ada model sekolah baru lagi, pasti menambah daftar masalah diskriminasi dalam pelayanan Pendidikan,” lanjutnya.
Sementara itu, penamaan sekolah rakyat untuk anak miskin juga tentu dapat menciptakan labelisasi dan stigmatisasi negatif terhadap siswa yang belajar di sana. Mereka pasti dianggap sebagai siswa kelas dua atau tidak sebaik siswa di sekolah unggulan.
Stigma ini dapat mempengaruhi kepercayaan diri dan prestasi akademis siswa, serta persepsi teman sebaya dan masyarakat terhadap mereka. Stigmatisasi ini akan memperkuat stereotip dan bias yang merugikan, dan semakin memarjinalkan kelompok anak miskin yang sudah rentan dan memperpetuasi siklus diskriminasi.
Untuk itu, Ubaid menegaskan bahwa gagasan sekolah unggulan jangan hanya diterapkan di sekolah dan wilayah tertentu, tapi harus bisa diterapkan di seluruh sekolah yang tersebar di Indonesia. Ini harus berbasis data dan pemetaan di berbagai wilayah, sebab terkait dengan strategi intervensi yang berbeda-beda.
“Jadi mestinya semua sekolah adalah unggulan untuk semua rakyat, jangan hanya yang berprestasi secara akademik saja. Sebab, semua anak adalah berprestasi berdasarkan potensinya yang berbeda-beda, jangan hanya diukur dari sisi akademik belaka. Karena itu, konsep unggulan jangan dipisah dengan rakyat. Sebab semua rakyat adalah berprestasi dan tugas pemerintah adalah menyediakan sekolah yang inklusif dan berkualitas unggulan untuk semuanya,” kata dia.
Saat ini masih ada jutaan anak di Indonesia yang tidak bersekolah. Menurut pangkalan data Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, per Januari 2025, tercatat jumlah anak tidak sekolah (ATS) adalah 3.846.375 anak. Ini dipicu oleh ketersediaan bangku sekolah yang tidak mencukupi, akibatnya sistem PPDB menggunakan model seleksi.
“Ini jangan sampai terjadi lagi di 2025. Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Pemerintah harus memastikan bahwa tidak ada anak yang tertinggal dan semua mendapatkan akses ke sekolah. Ini berarti menyediakan cukup tempat dan fasilitas untuk setiap anak agar mereka bisa belajar dengan baik. Daerah yang tidak ada atau kurang jumlah sekolahnya, ya harus ditambah. Ini menyangkut right to education for all yang tidak bisa ditawar,” pungkas Ubaid.(H-2)
Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/humaniora/735052/sekolah-unggulan-dan-sekolah-rakyat-timbulkan-kesan-pendidikan-berdasarkan-kasta