Koranriau.co.id-

SETELAH kemarin 26 Desember 2025, libur melaut untuk memperingati 21 tahun bencana dahsyat gempa bumi dan gelombang besar tsunami. Hari ini Sabtu (27/12) ribuan nelayan Aceh kembali berlayar menangkap ikan. Mereka adalah pencari ikan diperairan Samudera Hindia dan Selat Malaka.
Mulai subuh dini hari para nelayan tradisional pahlawan pejuang nafkah keluarga itu sudah memanggul berbagai peralatan penangkap ikan. Lalu menghidupkan mesin perahu kecilnya berlayar memecah kegelapan sunyi. Tujuannya tidak lain adalah, untuk mencari nafkah menyambung kehidupan anak istrinya.
Usman, tokoh adat laut di Kecamatan Pante Raja, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, Sabtu (27/12) mengatakan, meski belum pulih dari banjir, mereka tetap tegar berlayar mencari kehidupan baru walau harus mengarungi ketinggian gelombang tiada menentu. Itupun bukan sekedar pilihan atau kebutuhan keluarga sendiri, tapi juga panggilan hati menghidupkan nadi kebutuhan ikan segar untuk pasar lokal dan pelosok lokasi bencana.
Bencana dahsyat tsunami 26 Desember 2004 silam mengajarkan para penakluk Samudera itu untuk lebih kuat, sabar dan teguh seperti karang dihempas gelombang. Sedangkan banjir besar 26-27 November 2025 bulan lalu, memadu mereka lebih tegar menghadapi cobaan.
“Semua ini untuk memperkuat iman, bukan berlarut dalam kesedihan berujung trauma berkepanjangan. Walau daratan telah porak poranda diterjang air bah, tapi Selat Malaka masih membentang luas bertabur rizki”, tutur Muslim, nelayan tradisonal lainnya.
Adapun larangan tidak turun ke laut menjaring ikan setiap tiba 26 Desember. Itu sesuai kesepakatan bersama dan telah menjadi hukum adat laut di bumi Serambi Mekkah. Lalu dijadikan aturan yang tertera dalam Hukom Adat Laot (Hukum Adat Laut) Aceh, yang wajib di patuhi.
Teuku Muttaqin Masur, Sekretaris Umum Yayasan Pangkai Meureunoe Aneuk Nelayan (YPMAN), kepada Media Indonesia, Sabtu (27/12) mengatakan berhenti menlaut pada Jumat kemarin adalah untuk mengenang peristiwa gempa bumi dan tsunami 21 tahun silam.
Mengisi hari-hari kemarin, nelayan berkumpul di masjid, musalla, pelabuhan pendaratan ikan atau pos tempat dimana biasanya berteduh serta lokasi lain, guna menyelenggarakan zikir dan doa bersama.
Kesempatan 26 Desember juga lazil dilaksanakan kenduri dan tausiah mengenang syuhada tsunami dua dekade silam. Di forum sederhana itu mereka saling berbagi dan berkisah pengalaman unik menjalani kehidupan sesama.
“Ini sangat bermanfaat sebagai forum kebersamaan, media menukar informasi dan kesempatan bermusyawarah” tutur Muttaqin.
Dikatakannya, libur melaut 26 Desember itu merupakan kesepakatan bersama yang tertuang dalan aturan hukum adat laut di Aceh. Bila terjadi pelanggaran, panglima laot lhok (Papuma laut tingkat kabupaten) akan menjatuhkan sanksi.
Ketentuannya yaitu menyita semua hasil tangkapan, dan menahan kapal ikan tidak diperkenankan melaut berkisar 1 hingga 7 hari (tergantung berat, rigannya pelanggaran).
“Biasanya tidak ada pelanggaran, karena mereka patuh dan taat pada hukum adat yang telah disepakati” tambah Muttaqin yang juga Dosen Hukum Adat dari Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh. (H-2)
Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/nusantara/844538/setelah-sehari-refleksi-21-tsunami-ribuan-nelayan-aceh-kembali-turun-melaut




