Koranriau.co.id-

FOUNDER Restorasi Jiwa Indonesia (RJI), Syam Basrijal, menilai Generasi Z tumbuh dalam lanskap sosial yang berbeda dari generasi sebelumnya. Sejak kecil, Gen Z berhadapan dengan layar, notifikasi, dan arus informasi tanpa henti. Kondisi ini, menurut Syam, membentuk karakter unik sekaligus rentan.
“Generasi Z adalah generasi pertama yang benar-benar tumbuh bersama layar. Sejak kecil, mereka disambut oleh notifikasi, video pendek, dan dunia tanpa batas bernama internet,” ujar Syam, Minggu (7/12).
Ia menggambarkan Gen Z hidup di dua ruang sekaligus, yaitu dunia nyata yang penuh tuntutan dan dunia digital yang sarat perbandingan. Perpindahan cepat antara keduanya membuat ruang batin mereka mudah terdistraksi. Dampaknya, kesehatan mental kerap menjadi sisi yang paling terabaikan.
Media sosial memperkuat kerentanan itu. Validitas diri sering ditarik dari jumlah ‘like’ dan komentar. Ketika interaksi digital menurun, rasa tidak cukup dan keraguan diri tumbuh. Syam menyebutnya paradoks Gen Z bahwa media sosial membuka ruang ekspresi, tetapi sekaligus memperbesar ruang perbandingan.
Ia juga menyoroti peran algoritma yang mengatur konten di platform digital. Arus informasi yang tersaring oleh mesin membuat Gen Z rentan mengalami FOMO (fear of missing out). “Algoritma tidak netral. Ia membentuk cara mereka melihat dunia,” katanya.
Meski demikian, Syam menilai Gen Z bukan generasi yang bermasalah, melainkan generasi yang berusaha memahami perubahan cepat di sekelilingnya. Ia menawarkan empat pendekatan, yaitu mendengarkan tanpa menghakimi, membimbing penggunaan digital yang sehat, menyediakan ruang aman bagi yang mengalami tekanan mental, serta memperkuat komunikasi keluarga.
Di bidang sosial, kata dia, Gen Z dikenal vokal soal keadilan, keberagaman, dan isu lingkungan. Mereka kerap mempertanyakan instruksi yang dianggap tidak masuk akal. Bagi sebagian orangtua atau pemimpin, sikap ini terlihat sebagai pembangkangan. “Padahal mereka hanya ingin diperlakukan sebagai manusia yang punya nalar dan suara,” tutur Syam.
Pada sisi spiritualitas, Gen Z mencari pendekatan yang lentur. Mereka belajar melalui konten singkat dan figur agama di media sosial. Syam menyebut fenomena ini sebagai ‘spiritualitas instan’, namun tetap menekankan perlunya pendamping yang tidak menghakimi.
Dalam dunia kerja, Gen Z menempatkan makna dan lingkungan sehat sebagai prioritas setelah kebutuhan dasar terpenuhi. Mereka menghindari budaya lembur tanpa arah dan lebih memilih berpindah pekerjaan atau berwirausaha. “Ini bukan kemanjaan, tetapi usaha menjaga kesehatan mental,” kata Syam.
Ia menegaskan, Gen Z adalah calon pemimpin masa depan yang harus menghadapi dunia lebih kompleks. Dengan pendampingan tepat, mereka dapat tumbuh menjadi generasi yang adaptif dan reflektif. (B-3)
Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/jelita/837873/tantangan-mental-gen-z-di-era-digital-yang-kian-kompleks




