Koranriau.co.id-

INDONESIA sebagai negara demokrasi terus berupaya menjalankan pemerintahan yang efektif, responsif, dan berpihak kepada rakyat. Berbagai kebijakan publik telah lahir silih berganti dari subsidi energi hingga transformasi digital. Namun, di balik semangat reformasi dan jargon ‘berpihak kepada rakyat’, kualitas kebijakan sering kali menjadi sorotan.
Mengapa banyak kebijakan yang terasa lamban, tidak tepat sasaran, atau bahkan kontraproduktif? Jawabannya sederhana, tapi rumit untuk dipraktikkan, kualitas kebijakan sangat bergantung pada fondasi bukti (evidence), proses perumusan yang terbuka, dan kemampuan birokrasi dalam menerjemahkan masalah menjadi solusi nyata. Kualitas kebijakan yang seharusnya diukur dari segi substantif, proses, dan hasil, sering kali hanya dinilai dari tampilannya: apakah viral? Apakah sesuai selera pasar politik?
POTRET BURAM KEBIJAKAN DAN URGENSI TRANSFORMASI
Potret kebijakan kita masih terlihat buram, dimulai dari contoh kasus kebijakan yang dipandang tidak berangkat dari bukti, seperti pemindahan ibu kota negara ke Ibu Kota Nusantara (IKN) yang kajian dampak lingkungan dan sosialnya banyak dikritik sebagai belum matang. Contoh lain, kebijakan dana desa yang kurang mempertimbangkan kapasitas pengelolaan keuangan di tiap desa pada masa awal penerapannya. Pelaksanaan beberapa kebijakan tersebut mengalami berbagai kendala sehingga perlu dilakukan penyesuaian dalam implementasinya.
Selanjutnya, terdapat pula beberapa kebijakan yang langsung memperoleh gugatan judicial review ke MK segera setelah diundangkan. Yang pertama ialah UU Cipta Kerja yang dianggap terburu-buru dan banyak melanggar asas pembentukan undang-undang, dan hasilnya, UU tersebut dinyatakan ‘inkonstitusional bersyarat’, dengan perintah agar diperbaiki dalam dua tahun. Kedua ialah UU TNI yang digugat karena dianggap memperluas peran militer dan kembalinya dwifungsi TNI. Dua contoh tersebut mencerminkan proses perumusan kebijakan yang kurang optimal sehingga melahirkan berbagai reaksi negatif dari stakeholder terkait.
Potret buram kebijakan juga dapat dilihat dari hasil penilaian indeks kualitas kebijakan (IKK) yang dilakukan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN). Hasil penilaian di tahun 2023, dari total 546 pemerintah kabupaten/kota/provinsi, hanya terdapat 58 (11%) pemerintah daerah yang memperoleh nilai minimal baik. Hal itu menunjukkan pekerjaan rumah yang besar untuk membenahi kualitas kebijakan kita.
Di tingkat global, pada tahun 2023, government effectiveness index (GEI) Indonesia – sebuah indeks yang dianggap sebagai proksi kualitas kebijakan ialah 0,58, naik dari 0,44 pada 2022. Angka itu menunjukkan peningkatan signifikan. Namun, jika dibandingkan dengan negara anggota OECD yang rata rata 1,14, maka tetap dibutuhkan reformasi mendasar agar kebijakan publik benar-benar berkualitas internasional.
Dari beberapa uraian di atas, salah satu tantangan terbesar dalam perumusan kebijakan kita ialah rendahnya budaya evidence-based policy making, serta pendekatan elitis dan top-down di mana kebijakan disusun di ruang-ruang tertutup oleh segelintir pembuat keputusan, dengan partisipasi publik yang terbatas.
Kondisi itu diperparah oleh lemahnya koordinasi instansi pemerintah yang membuat kebijakan sering tidak sinkron, tumpang tindih, atau saling meniadakan. Juga kondisi masih banyaknya aparatur pemerintah yang belum memiliki kemampuan teknis untuk menyusun dan menganalisis kebijakan secara sistematis.
Karena itu, urgensi dilakukannya transformasi kebijakan untuk meningkatkan kualitas menjadi kebijakan sangat tinggi. Transformasi kebijakan bukan lagi pilihan, melainkan keharusan bagi Indonesia untuk menghasilkan kebijakan yang lebih berkualitas, adaptif, dan berdampak nyata. Tanpa transformasi kebijakan, pemerintah akan terus menghadapi krisis kepercayaan yang akan berakibat program sosial dan pembangunan akan berjalan lambat, juga sumber daya negara berisiko tidak efisien digunakan. Dengan transformasi, diharapkan kualitas hidup masyarakat dapat meningkat, investasi publik jadi lebih efektif, dan demokrasi menjadi semakin matang.
HARAPAN ITU MASIH ADA
Meskipun banyak tantangan, beberapa praktik baik menuju kualitas kebijakan yang semakin baik mulai terlihat di berbagai instansi. Pembentukan pusat kebijakan berbasis evidence di beberapa kementerian dan lembaga sudah mulai dilakukan dalam bentuk sebagai policy lab atau unit analis kebijakan. Di tingkat daerah, mulai muncul pemerintah daerah yang inovatif mengembangkan sistem pemantauan dan evaluasi berbasis dashboard untuk mendukung keputusan berbasis data.
Selanjutnya, pemerintah juga telah memandatkan kepada LAN untuk meningkatkan kualitas kebijakan. Melalui jargon smarter, better, dan bigger–yang merupakan semangat transformasi kelembagaan yang diusung oleh LAN dalam menghadapi tantangan birokrasi modern dan memperkuat perannya sebagai think tank dan agen penggerak reformasi birokrasi nasional, LAN meluncurkan program pengukuran IKK 2025.
Selanjutnya, selain melaksanakan survei/pengukuran IKK, dalam upaya meningkatkan kualitas kebijakan, LAN mengambil beberapa langkah strategis seperti membangun ekosistem pengetahuan dengan menguatkan kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil, meningkatkan kapasitas para analis kebijakan, menguatkan institusi strategi kebijakan, serta mendorong diterapkannya partisipasi publik dan transparansi dalam perumusan kebijakan di tiap instansi pemerintah sejak tahap identifikasi masalah dan formulasi kebijakan untuk meningkatkan legitimasi dan efektivitas kebijakan.
PENUTUP: JALAN PANJANG MENUJU KEBIJAKAN BERKUALITAS
Kualitas kebijakan publik adalah jantung dari keberhasilan pemerintahan. Indonesia memiliki banyak potensi seperti SDM, teknologi, dan semangat reformasi. Namun, potensi ini tidak akan menjadi kekuatan nyata jika kebijakan terus lahir dari ruang-ruang yang tertutup, tanpa dasar bukti yang kuat.
Saatnya kita beralih dari era kebijakan reaktif dan simbolik menuju era kebijakan reflektif dan solutif. Karena di balik setiap kebijakan yang salah, ada kehidupan rakyat yang dipertaruhkan. Kebijakan yang baik bukan hanya soal niat baik, melainkan tentang keberanian menengok data, mendengar suara rakyat, dan bertindak berdasarkan apa yang benar — bukan apa yang mudah.
Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/opini/795796/transformasi-kualitas-kebijakan-di-indonesia-quo-vadis-kebijakan-pemerintah