Koranriau.co.id-

PRESIDEN Tiongkok Xi Jinping melontarkan sindiran tajam terhadap Amerika Serikat, dengan menyatakan praktik “perundungan” dan “hegemoni” hanya akan menjadi bumerang. Pernyataan ini disampaikan sehari setelah tercapainya kesepakatan gencatan senjata sementara dalam perang dagang antara dua raksasa ekonomi dunia, Tiongkok dan AS.
Dalam pidatonya di hadapan para pejabat tinggi dari negara-negara Amerika Latin dan Karibia di Beijing, Selasa (13/5), Xi memosisikan Tiongkok sebagai pemimpin global yang menjunjung perdagangan bebas dan menentang proteksionisme.
“Tidak ada pemenang dalam perang tarif maupun perang dagang. Perundungan atau hegemoni hanya akan berujung pada pengasingan diri,” ujar Xi, mengulang peringatan yang telah ia sampaikan selama memanasnya konflik dagang dengan Presiden AS Donald Trump.
Xi menambahkan bahwa perubahan besar yang belum pernah terlihat dalam satu abad terakhir kini berlangsung cepat, dan hal itu membuat persatuan serta kerja sama antarnegara menjadi semakin penting.
Perang Dagang Mereda, Tapi Persaingan Masih Membara
Pidato Xi disampaikan sehari setelah AS dan Tiongkok mengumumkan keduanya sepakat untuk memangkas tarif secara drastis selama 90 hari. Kesepakatan ini mengejutkan banyak pihak dan dianggap sebagai titik balik yang meredakan perang dagang berkepanjangan serta menggairahkan pasar global.
Gedung Putih menyebut jeda tarif ini sebagai “kemenangan besar” bagi AS dan bukti keahlian Trump dalam mengamankan kesepakatan yang menguntungkan rakyat Amerika. Di sisi lain, media pemerintah Tiongkok dan para komentator menyambut kesepakatan ini sebagai “kemenangan besar” bagi Beijing dan pembenaran atas sikap tegas Tiongkok selama ini.
“Ini menunjukkan bahwa langkah-langkah balasan tegas Tiongkok sangat efektif,” tulis akun media sosial Yuyuan Tantian yang terafiliasi dengan CCTV di platform Weibo. “Langkah-langkah balasan itu jelas berdampak signifikan pada AS, hingga mendorong pemerintahnya menurunkan tarif.”
Sementara banyak negara berlomba mencari kesepakatan dagang setelah pengumuman Trump soal tarif “resiprokal” pada 2 April, Tiongkok memilih bertahan dengan strategi balasan berupa tarif tambahan dan tindakan lainnya terhadap produk AS.
Selama lebih dari sebulan, tarif impor AS atas barang Tiongkok melonjak menjadi 145%, sementara tarif balasan Tiongkok terhadap produk AS mencapai 125%. Perang tarif ini telah menimbulkan kerugian ekonomi di kedua belah pihak.
Namun, kesepakatan akhir pekan lalu membawa angin segar. AS akan menurunkan tarif dari 145% menjadi 30%, sementara Tiongkok memangkas bea masuk dari 125% menjadi 10%. Kendati demikian, tarif 20% terkait fentanyl dari AS dan balasan Tiongkok tetap diberlakukan.
Pemerintah AS juga akan memangkas tarif “de minimis” untuk paket kecil dari Tiongkok, dari 120% menjadi 54% mulai 14 Mei, namun tetap mempertahankan opsi tarif datar sebesar $100.
Narasi Kemenangan dan Kepemimpinan Global
Media Tiongkok menyambut gembira keputusan ini sebagai bentuk kesetaraan. Kedua belah pihak sepakat menangguhkan tarif resiprokal sebesar 24% selama 90 hari dan menghapus tambahan tarif 91% yang diberlakukan selama masa eskalasi pada April.
“Ini adalah kemenangan besar bagi komitmen Tiongkok terhadap prinsip kesetaraan dan saling menghormati,” tulis Hu Xijin, mantan pemimpin redaksi Global Times, di Weibo.
Hu menyebut kesepakatan ini sebagai “kemenangan bagi aturan perdagangan internasional dan tatanan global yang adil.” Ia juga meyakini bahwa ini akan menjadi inspirasi bagi negara lain untuk memperjuangkan hak mereka di panggung dunia.
Wang Yiwei, Direktur Institute of International Affairs di Universitas Renmin, Beijing, menambahkan bahwa posisi tegas Tiongkok mencerminkan komitmen terhadap prinsip-prinsip Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan perdagangan multilateral.
“Kalau Tiongkok saja tak bisa bertahan, bagaimana dengan negara-negara lain? Mereka akan dipaksa tunduk,” ujarnya.
Namun, Wang juga menekankan bahwa Tiongkok menunjukkan fleksibilitas dengan tidak lagi menuntut agar AS menghapus seluruh tarif unilateral sebelum memulai negosiasi. Ia menyebut kesepakatan ini sebagai bentuk “terapi bertahap” ketimbang “terapi kejut” terhadap ketegangan dagang.
Meningkatkan Pengaruh di Amerika Latin
Meskipun gencatan dagang telah diumumkan, Xi terus mendorong upaya diplomasi ekonomi, kali ini dengan merangkul Amerika Latin dan Karibia — wilayah yang selama ini berada di bawah pengaruh kuat Washington.
Dalam pidatonya di pertemuan keempat China-CELAC Forum, Xi menegaskan tekad Tiongkok untuk memperkuat solidaritas dengan negara-negara kawasan tersebut. CELAC (Community of Latin American and Caribbean States) merupakan forum kerja sama yang dibentuk pada 2014 untuk memperkuat pengaruh Tiongkok di wilayah yang dianggap “halaman belakang” AS.
“Tiongkok dan negara-negara Amerika Latin serta Karibia adalah anggota penting dari Global South. Kemandirian dan otonomi adalah tradisi mulia kita. Pembangunan dan kebangkitan adalah hak kita. Keadilan dan keadilan adalah tujuan bersama kita,” kata Xi.
Ia juga mengumumkan Tiongkok akan menyediakan jalur kredit sebesar 66 miliar yuan (sekitar Rp132 triliun) kepada negara-negara CELAC. Kredit ini akan diberikan dalam mata uang yuan.
Amerika Latin kini menjadi mitra dagang utama bagi Tiongkok. Tahun lalu, Tiongkok menjadi tujuan utama ekspor kedelai Brasil, menyerap lebih dari 73% total ekspor komoditas tersebut. (CNN/Z-2)
Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/internasional/771649/xi-jinping-sindir-as-soal-perundungan-dan-hegemoni-sebut-itu-akan-berbalik-menyakiti-diri-sendiri