Nasional

Rakyat dan Politik Cari Makan

Koranriau.co.id-

Rakyat dan Politik Cari Makan
(Dok. Pribadi)

BELAKANGAN ini, rakyat terus ditampar oleh berbagai pemandangan sosial, politik, dan ekonomi yang memilukan. Problem kemiskinan, pengangguran yang menganga, lapangan kerja dan daya beli rakyat yang makin menipis seolah berpacu dengan sikap apatisme dan paradoks elite yang kian menebal pesimisme bernegara.

Di satu sisi, para politisi selalu mengaku membela kepentingan rakyat. Namun, di saat bersamaan, rakyat malah ditinggalkan di tengah berbagai agenda elitis yang mereka ciptakan.

Fenomena rangkap jabatan wakil menteri sebagai komisaris di badan usaha milik negara (BUMN), misalnya, sebuah potret nyata bagaimana esensi politik-kekuasaan dimaknai sebatas bagi-bagi posisi dan jabatan Berdasarkan catatan Transparency International Indonesia (TII), setidaknya ada 33 wamen dan wakil kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) yang merangkap sebagai komisaris di BUMN (Media Indonesia.com, 20/7/2025).

Rakyat tentu saja mempertanyakannya. Apalagi berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XXIII/2025, rangkap jabatan bagi para menteri/wamen jelas-jelas dilarang. Tidak hanya itu, secara kepatutan sosial, fenomena tersebut tidak layak dipertontonkan kepada publik.

Di saat lapangan kerja kian sulit didapat, di saat masyarakat terus dihantui ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor, para politisi terus asyik memenuhi keinginan politiknya dengan mengincar berbagai kursi jabatan yang menggiurkan. Bahkan, ada oknum yang tidak malu-malu mengakui di hadapan publik bahwa jabatan komisaris itu ialah rezeki. Sebuah pernyataan antipati yang melukai perasaan rakyat.

 

PUTUS ASA

Tidak sedikit rakyat yang mulai putus asa, apakah mereka masih bisa bertahan hidup di hari esok. Mereka pun mulai menempuh cara apa saja asal bisa makan.

Simak saja pemandangan getir kemarin, yang mana lebih dari 1.000 orang mengantre untuk melamar kerja di salah satu minimarket atau toko ritel terbesar di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Mereka bahkan telah memadati lokasi tersebut sejak pukul 05.00 WIB pada Senin (14/7). Ribuan orang itu bukan sekadar angka saja, melainkan nyawa yang tengah menjerit, memohon perhatian kepada para ‘tuan’ alias elite, pemimpin mereka.

Masih di Jawa Barat, puluhan bayi dijual berkedok adopsi hanya untuk mendapatkan beberapa juta. Modus perdagangannya memakai sistem ‘ijon’, yakni bayi dipesan sejak dari dalam kandungan ibunya. Sungguh tragis.

Yang tak kalah menggemparkan ialah tewasnya tiga orang rakyat di Pendopo Kabupaten Garut karena berebutan mendapatkan makanan dan hiburan gratis pada acara pernikahan putra Dedi Mulyadi, Maula Akbar, dengan Wakil Bupati Garut Luthfianisa, Putri Karlin (18/7/2025).

Pemandangan tersebut mestinya dibaca secara autokritik moral oleh pejabat di negeri ini bahwa rakyat makin hari makin tidak baik-baik saja. Ada kebutuhan darurat sekaligus gelombang kecemasan akut yang selalu menguntit hari-hari pahit rakyat.

Sementara itu, para pejabat hingga keluarganya asyik pelesir ke luar negeri bahkan dengan meminta negara memfasilitasinya. Sebagian politisi terus memamerkan hidup luxury, memakai barang perhiasan bermerek, naik mobil mewah, rapat dan berpesta di tempat ekslusif, dll. Sementara itu, rakyat sibuk mengais sisa-sisa makanan dari balik tong-tong sampah orang kaya. Ini yang disebut sebagai simbol kapitalis pejabat (Musa Al Gharbi, 2024).

Ironisnya pola hidup elitis tersebut bahkan merasuk juga hingga pejabat kelas kampung/desa. Maka itu, tidak heran jika ada seorang kepala desa yang sempat menjadi sorotan warganya karena memiliki mobil mewah, Rubicon, di tengah mayoritas rakyat kampung-nya yang masih miskin.

Alih-alih terbangun kesatuan populis antara elite-rakyat, relasi yang tampak, (kepala) elite/pejabat seakan terpenggal dan terpisah dengan (tubuh) rakyat. Elite sibuk bekerja dengan agendanya sendiri, sedangkan rakyat dibuat berjibaku dengan berbagai pergumulan dan kesusahannya.

Mereka (elite/pejabat) mirip tokoh Rahu dalam mitologi agama Hindu yang sering digambarkan sebagai kepala ular tanpa tubuh. Sosok yang digambarkan sebagai penyebab terjadinya gerhana Matahari dan Bulan. Rahu melambangkan keserakahan, materialisme, ambisi, dan keinginan duniawi yang selalu tidak pernah puas. Bahkan, jika perlu, merampok apa yang menjadi hak rakyat lewat korupsi.

 

POLITISI DAN KEPEDULIAN

Kita lantas mempertanyakan apa makna demokrasi yang digaung-gaungkan di kepala elite hari-hari ini. Apakah demokrasi namanya, ketika seorang politisi bebas berbuat apa saja memenuhi syahwatnya sambil membiarkan rakyat lapar? Apakah aturan menjadi segala-galanya di tengah situasi yang sejatinya lebih membutuhkan respons kepatutan dan kepekaan sosial sebagai syarat substantif dalam bernegara.

Joseph Lacey (2017) dalam konsep demokrasi sentripetalnya menegaskan, demokrasi mesti menjadi episentrum seluruh dimensi pikiran, perilaku dan cara pandang berpolitik, bernegara dari para elite. Dalam demokrasi yang demikian, tanggung jawab kemanusiaan dan empati terhadap rakyat adalah ukuran utama sikap dan perilaku politik. Bukan sekadar aturan, jabatan, apalagi kepentingan sesaat.

Prinsip absolut tersebut bisa diderivasi ke dalam lapisan ruang pengambilan keputusan hingga di level daerah. Para elite politisi lokal harus mampu membaca dan menemukan inti dari perjuangan politik yang berbasis pada suara dan kebutuhan rakyat serta kemanusiaan.

Sebuah politik tulus yang mengurai akar krisis kerakyatan yang menggumpal di dalam sikap dan kebijakan elite yang tengah mengidap krisis kepekaan sosial.

Indonesia kian krisis politisi berkarakter hari-hari ini. Politik cenderung dianggap sebagai tempat mencari peruntungan (avocation), tempat cari makan dan kesenangan. Bukan sebagai panggilan hidup (vocation) yang siap menderita dan berkorban, demi kebahagiaan rakyat.

Padahal, sebagai pajabat publik atau politisi, etika dan kepedulian sosial adalah sebuah keniscayaan. Seorang pejabat publik harus menjadi integrator sosial bagi masyarakat (Laode Ida, 2018).

Integrator mencerminkan kemampuan seorang pejabat untuk mengintegrasikan batin rakyat yang dibaluti berbagai persoalan dan penderitaan dengan sikap batin dirinya untuk menghasilkan perilaku empati-prososial yang berbasis pada kepedulian dan pemihakan konkret terhadap kepentingan dan harapan rakyat.

Dalam situasi sosial-ekonomi masyarakat-elite yang diwarnai kesenjangan yang kian mencolok, pejabat mestinya membangun sikap belarasa penuh kebajikan (benevolent). Menghargai suasana kebatinan rakyat sebagai bagian dari rekognisi moral-nya selaku pemimpin dan patron etika, moral masyarakat.

Jika tak ingin ditinggalkan rakyat, pejabat, politisi yang demokratis harus menghentikan segala orientasi perilaku yang bernafsikan pada pementingan diri/kelompok. Ia harus mengutamakan rakyat, tak hanya sebatas dalam ucapan, tetapi juga membumikan keutamaan sosial itu dalam pelbagai teladan praksis setiap saat.

 

Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/opini/794374/rakyat-dan-politik-cari-makan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *